Jakarta – Jangkarpena.com Advocat Achmad Cholifah Alami.SH ” akan akrab di sapa alam mengatakan” Sebelumnya, saya akan jelaskan sedikit tentang penyidikan.
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya, demikian yang disebut dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) ” Ucapnya.
Perlu Anda ketahui, wewenang melakukan penyidikan pada dasarnya ada pada kepolisian. Hal ini didasarkan pada Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (“UU Polri”) yang mengatakan bahwa kepolisian bertugas menyelidik dan menyidik semua tindak pidana sesuai hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Akan tetapi ” Ujar Alami SH, KPK memiliki kewenangan tambahan yaitu dapat mengambil alih perkara korupsi walaupun sedang ditangani oleh Kepolisian atau Kejaksaan [Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi – “UU KPK”].
Namun, pengambil alihan perkara korupsi tersebut harus dengan alasan yang diatur dalam Pasal 9 UU KPK. Penjelasan lebih lanjut mengenai penyidikan yang dilakukan oleh KPK ” Ucapnya
Lebih lanjut ” Achmad Cholifah Alami.SH yang tergabung didalam Law Firm DSW & Partner menjelaskan tentang apa saja yang menjadi kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (“KPK”) dalam menangani kasus korupsi.
Kewenangan KPK untuk menangani kasus korupsi diatur dalam Pasal 6 huruf c UU KPK yang mengatakan bahwa KPK mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, KPK berwenang melakukan penyelidikan,j penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang (Pasal 11 UU KPK):
a.melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara;
B. mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau. C. menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Kendati demikian ” Ujar Alami SH , kewenangan menuntut pidana hapus jika tertuduh meninggal dunia.
“Hal ini telah disebut dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
Pasal tersebut mengatakan bahwa dalam pasal ini terletak suatu prinsip bahwa penuntutan hukuman itu harus ditujukan kepada diri pribadi dan jika orang yang dituduh telah melakukan peristiwa pidana itu meninggal dunia, maka tuntutan atas peristiwa itu habis begitu saja “artinya tidak dapat tuntutan dan itu diarahkan kepada ahli warisnya (hal. 91).
Sambung Alami.SH” Memang yang diatur dalam Pasal 77 KUHP adalah tentang gugurnya penuntutan. Akan tetapi, melihat dari alur perkara pidana itu sendiri, penyidikan dan penuntutan merupakan bagian yang tidak terpisah satu sama lain, maka apabila tersangka korupsi meninggal dunia pada saat proses penyidikan, maka kelanjutan proses pidana selanjutnya juga akan hapus/gugur dan ini karena jika penyidikan dilakukan pun, penututan tidak dapat dilakukan karena adanya pengaturan dalam Pasal 77 KUHP ” tuturnya.
Lalu apakah gugurnya penuntutan serta merta menghapus tanggung jawab tersangka secara perdata terhadap kerugian?
Untuk menjawab ini, kita mengacu pada Pasal 33 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Pemberantasan Tipikor”).
Menurut pasal ini, dalam hal tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya.
Dari serangkaian dasar hukum yang kami berikan jelas diketahui bahwa tuntutan pidana terhadap tersangka korupsi yang meninggal dunia memang hapus/gugur dan tuntutan pidana itu tidak bisa ditujukan kepada ahli warisnya. Akan tetapi, apabila secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, gugatan perdata dapat dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara atau instansi yang dirugikan terhadap ahli waris tersangka korupsi yang meninggal dunia ” tutupnya. (Kefas Hervin)