JANGKARPENA.COM Kelenteng yang berada di jalan yang dahulu ketika zaman Belanda adalah Chinese Kerkweg.
Hanya di Indonesia saja Vihara disebut Kelenteng, sebab sebutan umum untuk kelenteng adalah Miao atau Bio, lafal dalam bahasa Hokkian. Kelenteng dibangun pertama kali di Indonesia pada tahun 1650 oleh Letnan Kwee Hoen dan dinamakan Kwan Im Teng. Dari kata Kwan Im Teng inilah orang Indonesia akhirnya melafalkannya sebagai Kelenteng hingga saat ini. Sebutan lainnya untuk Kelenteng adalah Co Si, yaitu kelenteng yang dikhususkan hanya untuk leluhur abu keluarga sendiri saja, jadi bukan untuk umum.
Pada saat ini, di Bandung ada 23 Vihara (kelenteng). Sedangkan kelenteng pertama yang dibangun di Kota Bandung didirikan pada tanggal 16 Juni 1855. Hingga kini, kelenteng ini masih menjadi yang tertua dan terbesar di Kota Bandung. Sejarah kelenteng ini berawal dari etnis Tionghoa yang hijrah ke Bandung usai Perang Diponegoro (1825-1830). Selain menetap dan mencari nafkah, etnis Tionghoa merasa memerlukan tempat berkumpul untuk menjalankan adat, tradisi dan kepercayaan tradisional Tionghoa.
Seorang Luitennant der Chinesschen (pemimpin seluruh kawasan etnis Tionghoa) Bandung saat itu, Tan Hay Long, mempelopori Miao. Ia menghibahkan tanah bekas rumahnya untuk pendirian kelenteng tersebut. Nama Tan Hay Long sampai saat ini masih diabadikan di plakat kelenteng.
Dalam pembangunan kelenteng ini, tidak tanggungtanggung Tan Hay Long mendatangkan seorang arsitek dan ahli teknik sipil langsung dari Tiongkok. Mereka adalah Chui Tzu Tse dan Kung Chen Tse, yang memang ahli dalam pembuatan kelenteng. Tan Hay Long kemudian menamakan kelenteng ini Shend Di Miao, yang berarti Istana Para Dewa. Nama ini diambil karena kelenteng ini digunakan sebagai tempat ibadah bersama etnis Tionghoa dari berbagai tempat dengan kepercayaannya yang berbeda-beda.
Namun di tahun 1917, namanya diubah menjadi Xie Tian Gong atau Hiap Thian Kong seiring dengan dilakukannya renovasi pada kelenteng. Nama tersebut di atas diambil dari Dewata Utama (tuan rumah) kelenteng ini, yakni Guan Gong (Koan Kong). Nama kecil beliau adalah Guan Yu alias Yunchang (In Tiang), seorang tokoh sejarah dan pahlawan yang pernah hidup di Tiongkok periode Tiga Negara (San Guo/Sam Kok, 220-280 SM). Oleh kaisar-kaisar dari berbagai dinasti, beliau diperingati di kelenteng yang dibangun khusus untuk beliau serta dianugerahi berbagai gelar, antara lain Xietian Dadi (Hiap Thian Tai Te).
Nama Hiap Thian inilah yang diambil sebagai nama Kelenteng di Bandung. Mengingat semua nama maupun budaya yang berbau Tionghoa pada tahun 1965 harus diganti namanya jadi nama Indonesia, maka nama kelenteng inipun diubah menjadi Vihara Satya Budhi. Sebutan “vihara” juga digunakan sebagai pengganti sebutan kelenteng karena kebijakan pemerintah pada saat itu yang melarang agama lain bagi kaum Tionghoa selain agama Budha. Hasilnya, saat ini Vihara Satya Budhi digunakan secara bersamaan oleh tiga penganut agama berbeda yaitu Budha, Tao, dan Konghucu.
Di kedua sisi kelenteng Hiap Thian Kiong pun telah ditambahkan dua vihara lainnya, yaitu Vihara Buddha Gaya di sisi barat dan Vihara Samudra Bhakti (Hai Hui Tang) di sisi timur. Kemudian, pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, etnis Tionghoa diberi kebebasan dalam menjalankan budaya, tradisi dan kepercayaannya. Nama Kelenteng Xie Tian Gong kembali muncul tanpa menghilangkan nama Vihara Satya Budhi. (dari Berbagai Sumber /PN)