Napaktilas Rasul Jawa : Mengenal Lebih dekat Siapa Kyai Ibrahim Tunggul Wulung

Napaktilas Rasul Jawa : Mengenal Lebih dekat Siapa Kyai Ibrahim Tunggul Wulung

Spread the love

Kota Bogor – Tumbuhnya komunitas Kristen di Ngoro, Wiyung, Sidokare, dan kemudian Mojowarno itu menimbulkan rasa was-was Pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah kuatir timbulnya komunitas Kristen di desa-desa yang berdekatan dengan pesantren atau masyarakat muslim akan menimbulkan kerawanan sosial. Memang ada masyarakat yang tidak senang dengan komunitas Kristen tetapi komunitas itu tidak mengganggu bahkan mereka bersikap baik kepada masyarakat, suka menolong orang yang kekurangan, tidak membenci dan seterusnya. Mereka mengabarkan Injil dengan kesaksian konkret dalam tingkah laku sehari-hari.

Melihat tidak terjadinya kerawanan sosial, Pemerintah Hindia Belanda yang tadinya melarang dengan keras pekabaran Injil, mulai melonggarkannya. Gubernur Jenderal JJ Rochussen (1845 – 1851) atas kenyataan itu, mencabut larangan sejarah gereja. Kebijakan itu memberi kesempatan kepada lembaga-lembaga penginjilan dari Eropa untuk mengabarkan Injil di Indonesia. Pendeta pertama yang datang ke Jawa Timur bersentuhan dengan komunitas Kristen di Jawa Timur itu adalah Pdt. Jelle Eelche Jellesma.

Kedatangan Pdt. Jellesma ke Jawa Timur sangat menguntungkan komunitas-komunitas tersebut. Sebagai pendeta, Jellesma berhak melayankan baptis sehingga orang-orang yang tertarik untuk menjadi Kristen tidak perlu lagi ke Surabaya untuk minta dibaptis. Di komunitas Sidoarjo (Sidokare) Jellesma membaptis 19 orang tahun 1948, di Mojowarno ada baptisan untuk 56 orang.

Para kyai yang sudah menjadi pimpinan komunitas membantu pekerjaan Pdt. Jellesma dalam memelihara jemaat dan mengabarkan Injil. Bahkan ia juga menyelenggarakan “pendidikan teologi” praktis di rumahnya. Matapelajaran yang ia berikan Kitab Suci, Sejarah, Tafsiran, dogmatika dan etika. Namun dalam perjalanannya dari komunitas ke komunitas, ia dapat merasakan perbedaan besar di kalangan orang-orang Kristen yang berasal dari Ngoro dan Wiyung. Pengajaran Coolen menurutnya mengandung mistik, takhayul, dan perilaku mereka dianggap kurang layak. Karena itu ia memutuskan untuk tinggal di antara “orang-orang Ngoro” yang sudah tinggal di Mojowarno.

Di Mojowarno itulah ia berjumpa dengan orang Jawa Kristen yang aktif mengabarkan Injil. Dua orang yang pernah ia ketemu adalah Kyai Tunggul Wulung yang kemudian menjadi penginjil di daerah Jepara dan Pati, kemudian hari Radin Abas atau Sadrah yang menjadi penginjil terkenal di Karangjoso, Purworejo. Dua nama itulah yang menghiasi sejarah gereja di Jawa.

Kyai Tunggul Wulung yang sebelumnya adalah priyayi Mangkunegara yang bernama Tondokusumo. Menjabat sebagai demang di Kediri, ia kemudian terlibat dalam Perang Diponegoro tahun 1825 – 1830. Usai perang Diponegoro ia sempat menyamar dengan nama Achmad Dullah, menjadi pengembara hingga daerah sekitar Gunung Muria, lalu untuk mencari ketenangan jiwa dia bertapa di gunung Kelud. Dalam proses itu dia mendapat secarik kertas yang berisi hukum Tuhan. Dia merasa itulah petunjuk tentang “ngelmu” baru. Maka seturun dari bertapa dia menemui Coolen di Ngoro untuk menanyakan “ngelmu”. Oleh Coolen dia diajar mengenai “ngelmu Kristen”. Dari Ngoro dia pergi ke Mojowarno dan berjumpa dengan murid-murid Coolen yang sudah madeg jadi kyai Kristen. Di situlah ia aktif mengabarkan Injil ke daerah-daerah sekitar Malang: Kepanjen, Dimoro, Penanggungan dan sekitarnya. Bahkan sempat berkeliling sampai Semarang, jepara, Pati bahkan Bagelen. Namun saat itu dia belum dibaptis. Agaknya dia sangat terkesan dengan pengajaran Coolen bahwa menjadi Kristen tidak perlu menjadi orang Belanda, tidak perlu dibaptis, dan tetap menjadi orang Jawa dengan seluruh peradaban dan budayanya! Itu akan terbukti nanti ketika dia mulai mengabarkan Injil di Jepara dan Pati.

Kyai Tunggul Wulung sangat terkesan dengan gaya penginjilan yang dilakukan Coolen, tetapi dia tidak bisa mengelak dari ajaran Pdt. Jellesma bahwa menjadi Kristen harus dibaptis. Ia sempat menjadi murid Pdt. Jellesma dan mendapat pengajaran mengenai 10 Hukum Tuhan, Doa Bapa Kami, dan 12 Sahadat atau pengakuan iman rasuli. Sementara Coolen sudah semakin tua, semakin banyak orang di Ngoro yang minta dibaptis, dan dia tidak bisa menolak keinginan murid-muridnya. Coolen sempat dinasihati oleh Jellesma untuk memberikan “anak-anaknya” dibaptis. Tahun 1873 Coolen menghadap Sang Khalik.

Demikian juga Kyai Tunggul Wulung, setelah memperoleh pengajaran dari Jellesma ia dibaptis di Mojowarno tanggal 6 Juli 1957 (ada yang mengatakan tahun 1855 atau 1856), dengan memakai nama baru Kyai Ibrahim Tunggul Wulung. Dengan bekal Kitab Suci yang diberikan oleh Pdt. Jellesma, Kyai Ibrahim Tunggul Wulung meninggalkan Mojowarno dan mulai bebadra, mengabarkan Injil di daerah Jepara dan Pati. Banyak orang tertarik dengan kekristenan yang diajarkan oleh Kyai Ibrahim Tunggul Wulung. Pengajarannya sangat sederhana, “Gusti Yesus itu juruselamat yang menebus dosa manusia”. Itu ngelmu yang utama yang membawa kepada keselamatan manusia. Ngelmu itu sangat menarik bagi orang-orang Jawa yang memang senang dengan olah batin, yang memahami bahwa hidup ini adalah sebuah perjalanan menuju kepada suatu “paran”. Tuhan Yesus yang ditawarkan dalam ngelmu yang diajarkan Kyai Ibrahim mudah dan cepat diterima oleh masyarakat. Tuhan Yesus adalah Ratu Adil yang akan datang lagi ke dunia, itulah kepercayaan yang diajarkan kepada mereka. Karena itu ketika Kyai Ibrahim Tunggul Wulung mengabarkan Injil di desa-desa sekitar Jepara, Pati, Kudus dan desa-desa di sekitar Gunung Muria. Di sana segera terbentuk komunitas Kristen.

Namun pekabaran Injil yang dilakukan oleh Kyai Ibrahim Tunggul Wulung bersamaan waktunya dengan pekabaran Injil yang dilakukan oleh lembaga penginjilan yang datang dari Eropa. Doopegezind Zendeling Vereneging (DZV) sebuah lembaga penginjilan dari Belanda sudah mengirim seorang penginjil ke Jawa yang bekerja di Jepara. Namanya Pdt. Pieter Janz. Ia memulai penginjilan di Jepara tahun 1853. Namun ia menghadapi kesulitan. Tidak mudah baginya untuk mendekati orang Jawa. Karena itu ia meminta tolong kepada Pdt. Jellesma di Mojowarno untuk mengirimkan orang Jawa yang bisa membantunya. Oleh Jellesma dikirim seorang bernama Sem Sampir.

Dalam melaksanakan pekabaran Injilnya itu P. Janz bertemu dengan Kyai Tunggul Wulung. Mereka sempat bersahabat. Namun masing-masing menjaga jarak. Pdt. Janz menganggap bahwa Injil yang diberitakan Kyai Tunggul Wulung sudah bercampur dengan takhayul dan mistik. Kecuali bahasa Jawa yang diketahuinya, Janz memang tidak paham mengenai kehidupan spiritual orang Jawa. Ia berpikir bahwa kekristenan yang benar adalah kekristenan sebagaimana yang dipahami orang Eropa. Demikian juga perilaku Kyai Tunggul dan murid-muridnya dianggap tidak mencerminkan kehidupan Kristen Eropa.

Sementara Kyai Tunggul Wulung menilai Janz ingin menguasai orang Jawa, tidak mengerti adat istiadat orang Jawa bahkan mau menjadikan orang Jawa sebagai orang Eropa. Kyai Tunggul Wulung tidak cocok dan tidak suka dengan cara-cara yang dilakukan Janz yang dianggap terlalu keras kepada orang Jawa.

Karena perbedaan itu mereka akhirnya jalan sendiri-sendiri. Namun yang menarik dari keduanya adalah metode pekabaran Injilnya yang mirip dengan pekabaran Injil di Jawa Timur, yaitu membuat desa dan membangun komunitas Kristen di desa tersebut. Kyai Tunggul Wulung membuka hutan dan berhasil membangun desa Bondo. Itulah desa pertama yang dibangun Kyai Tunggul Wulung. Sesudah itu juga desa Banyutowo dan Tegalombo.

Di desa-desa yang dibangun dari pembukaan hutan oleh Kyai Tunggul Wulung dan pengikutnya tumbuh komunitas Kristen. Mirip dengan desa yang dibangun Coolen di Ngoro Jawa Timur, murid-murid Kyai Tunggul Wulung itu tidak ada yang dibaptis. Sama dengan Coolen pula, Kyai Tunggul Wulung tidak mau murid-muridnya yang Jawa itu “menjadi Belanda” karena dibaptis.

Kalau Tunggul Wulung membuka hutan dan membangun desa di Jepara, Pdt. Janz Junior (anak Pdt. Pieter Janz) membuka hutan di daerah Pati, di desa yang diberi nama Margorejo. Ijin untuk membuka persil itu diberikan oleh Pemerintah kepada DZV tetapi DZV melimpahkannya kepada Pdt. Janz Junior, anak pdt. P. Janz karena Pdt. P. Janz telah dicabut ijinnya untuk mengabarkan Injil karena buku yang ditulisnya. Buku yang isinya mengajak orang untuk bertobat dan percaya kepada Injil Tuhan Yesus berdasarkan Makus 1: 15 “Waktunya sudah genap, Kerajaan Allah sudah dekat. Bertobatlah dan percayalah pada Injil”, dinilai oleh para bupati sebagai buku yang berbahaya karena akan menimbulkan keresahan di kalangan umat Islam. Persoalan itu sampai kepada Gubernur Jenderal Ch. F. Pahud (1856 – 1861) dan Janz Senior dicabut ijinnya.

Karena dicabut ijinnya, pekerjaan Pdt. Pieter Janza yang sudah sempat membuka sekolah di Jepara diteruskan kemudian oleh anaknya Janz Junior, Pdt. JA Janz. Sekolah yang sudah didirikan di Jepara dipindahkan ke persil Margorejo yang didirikan tanggal 8 Juni 1883. Komunitas Kristen di persil Margorejo itu sangat berbeda dengan komunitas hasil pekabaran Injil Kyai Tunggul Wulung. Di Margorejo, orang yang tinggal di desa itu tidak dipaksa untuk memeluk agama Kristen tetapi diharuskan mengikuti peraturan persil, seperti pada hari Minggu tidak boleh bekerja, anak berusia 6-12 tahun harus sekolah, tidak boleh poligami, tidak boleh mengisap candu, tidak boleh minum minuman keras dan tidak boleh melakukan adat kekafiran serta yang bersifat takhayul. Namun seperti di Ngoro, penduduk desa Margorejo diharuskan membayar pajak sewa tanah. Sementara orang Kristen di persil di luar itu tidak perlu membayar pajak.

Dalam mengembangkan komunitas Kristen Kyai Tunggul Wulung dibantu oleh beberapa orang, di antaranya Sadrah. Mereka dipertemukan di desa Bondo. Ketika itu Sadrah yang aslinya bernama Radin belum menganut agama Kristen. Dia seorang santri dari daerah itu. Ada yang mengatakan bahwa Radin berasal dari daerah Demak, ada pula yang menduga dia berasal dari desa di Pati. Tetapi yang pasti Radin adalah orang Jawa yang ingin belajar ilmu. Mula-mula dia menjadi santri dari Kyai Kusen yang dikenal juga dengan Kyai Sis Kanoman. Setelah selesai nyantri di Kyai Kusen, dia memperdalam ilmunya ke pesantren di Jawa Timur. Waktu belajar itu ia menambahkankan nama Abas di belakang Radin sehingga dikenal dengan Radin Abas. Di Jawa Timur itu ia bertemu dengan Pdt. Jellesma yang mengajarkan kekristenan. Sebagai santri yang sedang mencari ilmu, Radin Abas tidak mudah menerima ajaran Pdt. Jellesma.

Dari Jawa Timur, Radin Abas kembali ke Jawa Tengah menemui gurunya Kyai Kusen. Ternyata kyai Kusen mengaku telah dikalahkan oleh Kyai Tunggul Wulung dan menjadi pengikutnya, masuk Kristen. Radin Abas kemudian dipertemukan dengan Kyai Tunggul Wulung dan menjadi muridnya, membantu di Bondo. Oleh Tunggul Wulung, Radin Abas diperkenalkan kepada guru yang banyak memberi pengetahuan kekristenan, yaitu Mr. Anting. Tetapi ternyata Mr. Anting sudah pindah ke Batavia. Ke sanalah Radin Abas dibawa. Dalam pertemuannya dengan Mr. Anting itulah Radin Abas kemudian belajar kekristenan dan dibaptis sebagai orang Kristen di gereja Sion (sampai sekarang gereja itu masih berdiri kokoh).

Radin Abas dibaptis dan mengganti namanya menjadi Sadrah. Dari Batavia, Sadrah kembali ke desa Bondo membantu Tunggul Wulung membangun komunitas di sana. Ada beberapa komunitas yang harus dirawat oleh Tunggul Wulung, namun Sadrah memilih Bondo sebagai tempat melayani.

Beberapa tahun membantu Kyai Tunggul Wulung, Sadrah berselisih paham dengan gurunya, Kyai Tunggul Wulung. Sadrah kurang begitu cocok dengan gaya hidup Kyai Tunggul Wulung yang ternyata sebelum menjadi penginjil telah memiliki isteri dan anak-anak. Itu terjadi ketika dia menjadi Demang di Kediri sebelum perang Diponegoro. Dari anak-anaknya dia memiliki cucu. Salah satu cucunya bernama Ratiman.

Kyai Tunggul Wulung meninggal Februari tahun 1985 dan pengelolaan komunitas Kristen di desa Bondo, Tegalombo dan Banyutowo diserahkan kepada Ratiman, cucunya. Di bawah pengelolaan Ratiman inilah tiga komunitas Kristen peninggalan Kyai Tunggul Wulung diserahkan kepada DZV. Ratiman merasakan kekurangan atas kehidupan orang-orang Kristen di komunitasnya, karena tidak dibaptis sebagaimana orang Kristen di desa lain. Ratiman yang bersahabat baik dengan Janz Junior dibaptis tahun 1886 dan komunitas itu diserahkan sepenuhnya tahun 1887 dan mereka dibaptis. Ada 368 orang dari tiga desa itu yang dibaptis oleh Janz Junior. Ratiman diangkat menjadi guru Injil (Dari Berbagai Sumber)

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!