Pangkalpinang – Sebagai negara demokrasi, peran politik merupakan bagian penting dari tujuan bernegara, pun dengan Indonesia. Politik menyoroti pada suatu sistem dalam upaya pencapaian kekuasaan. Sementara, untuk menjalankan sistem tersebut dibutuhkan suatu organisasi terstruktur, yang kemudian dikenal dengan sebutan “Partai politik”. Kehadiran partai politik bahkan memiliki kedudukan dalam pengakuan yang absolut melalui Undang-Undang No 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Undang-undang tersebut mengamanatkan partai politik berfungsi sebagai penghubung antara rakyat dengan penguasa melalui sarana demokrasi. Dalam sejarahnya, Indonesia pernah menerapkan 4 sistem demokrasi, yakni Demokrasi Parlementer (1950-1959), Demokrasi Terpimpin (1959-1965), Demokrasi Pancasila Orde Baru (1966-1998), dan Demokrasi Pancasila Reformasi (1998-sekarang). Namun, rakyat Indonesia baru benar-benar merasakan langsung hubungan dua arah dalam konteks demokrasi, terjadi pada era Demokrasi Pancasila Reformasi.
Pada era ini, disebutkan Andrew Shandy dan Sandra Dewi (2018), berbagai kekangan demokrasi yang berlaku di era Soeharto dihapuskan. Lebih lanjut, sistem multipartai juga diberlakukan pada era reformasi, dan menjadi awal dilaksanakannya pemilihan secara umum pada 1999. Karakter pemilu berjalan dengan lebih demokratis, masyarakat terlibat langsung dalam pemilihan pemimpin. Adanya rotasi kekuasaan dari pemerintah pusat hingga daerah, pola rekrutmen politik terbuka, dan hak-hak dasar warga negara terjamin.
Meningkatkan Partisipasi Politik Masyarakat
Aktifnya keterlibatan masyarakat secara langsung dalam penyelenggaraan pemilu, menunjukan semakin kuatnya tatanan demokrasi dalam sebuah negara, karena dalam pemilu, rakyat memiliki kedaulatan tertinggi, dapat melaksanakan hak politiknya dengan menentukan pilihannya secara langsung, dan bebas. Kondisi ini sekaligus mengharuskan partai politik beradu strategi, dan taktik untuk meyakinkan rakyat dengan menawarkan visi, misi, program, dan/atau citra diri, yang tujuannya adalah meraih kekuasaan.
Pada era terdahulu, gaya komunikasi konvensional dianggap sebagai cara terbaik untuk menarik simpati, popularitas, dan suara masyarakat. Dalam kampanye, baik partai maupun individu dalam pemilihan legislatif dan kepala daerah banyak menggunakan baliho sebagai media kampanye. Selain itu, interaksi tatap muka dirasa lebih efektif, karena akan terbentuk ikatan personal, membangun hubungan, serta memahami karakter, dan memahami kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, akan muncul kepercayaan yang kuat dari masyarakat.
Transformasi Gaya Komunikasi Konvensional ke Era Digital
Tetapi, dalam beberapa dekade terakhir, gaya komunikasi dan kampanye politik di Indonesia telah mengalami perubahan drastis. Heryadi Silvianto, Dosen FIKOM Universitas Multimedia Nusantara (UMN) menyebut, perubahan dari metode konvensional yang lebih tradisional menjadi kampanye digital yang eksponensial, dan inklusif ini seiring perkembangan teknologi, dan perubahan perilaku pemilih, sehingga membawa dampak signifikan dalam politik Indonesia.
Teknologi digital telah mengubah cara kita berinteraksi, berkomunikasi, dan juga berpartisipasi dalam proses politik. Dalam artikel yang dipublikasi oleh Caruy Desa, salah satu perubahan signifikan yang terjadi dalam partisipasi politik adalah peningkatan partisipasi online. Dulu, partisipasi politik terbatas pada kegiatan-kegiatan seperti pemilihan umum, dan pertemuan publik. Namun sekarang, orang dapat berpartisipasi dalam proses politik melalui internet. Mereka dapat memberikan pendapat, berkomunikasi dengan pemimpin politik, dan bahkan mengorganisir gerakan politik.
Seperti halnya media sosial. Platform ini telah menjadi sarana yang kuat untuk menyebarkan pesan politik, mengorganisir kampanye, dan memobilisasi massa. Dengan menggunakan media sosial, para politisi dapat langsung berinteraksi dengan pemilih, mempromosikan agenda politik mereka, dan memperoleh dukungan. Bahkan, dalam Pemilihan Presiden 2024, para calon memanfaatkan fitur “live” pada platform TikTok, Facebook, dan YouTube untuk berinteraksi dengan publik, terutama untuk menggaet simpati Generasi Z.
Dampak Transformasi Politik Digital
Perubahan ini memiliki dampak yang signifikan terhadap proses politik dan demokrasi. Salah satu dampak positif dari transformasi politik digital adalah peningkatan partisipasi pemilih. Platform online memungkinkan pemilih untuk dengan mudah mengakses informasi tentang calon dan masalah politik, serta memberikan suara mereka pada pemilihan. Hal ini dapat meningkatkan tingkat partisipasi pemilih, dan membuat politik menjadi lebih representatif.
Namun, dalam beberapa hal, ini juga memunculkan beberapa perhatian. Salah satu perhatian utama terkait transformasi politik digital adalah tantangan keamanan, dan privasi. Dalam era digital data pribadi dapat dengan mudah dikumpulkan, dan dieksploitasi, sehingga penting untuk menjaga privasi dan melindungi data pengguna. Selain itu, keberadaan berita palsu dan informasi yang salah dapat mempengaruhi proses politik, dan mengancam integritas demokrasi. Maka, diperlukan adanya penegasan etika yang mengedepankan prinsip dasar seperti kejujuran, transparansi, dan penghormatan terhadap kepentingan masyarakat sebagai landasan yang harus dipegang teguh oleh semua pemimpin politik.
Pancasila sebagai Dasar Etika Digital Politik
Roffi Hasibuan, dalam artikelnya menyebutkan, Kemajuan pesat dalam teknologi informasi dan komunikasi telah membuka peluang baru, sekaligus menghadirkan tantangan yang rumit. Dalam situasi ini, Pancasila, sebagai dasar negara Indonesia, bisa menjadi pedoman etika politik yang relevan, dan sebuah prinsip yang dapat diterapkan untuk menjaga keseimbangan antara perkembangan teknologi dan nilai-nilai kemanusiaan.
Prinsip pertama, yaitu mengingatkan kita bahwa politik harus tetap berlandaskan nilai-nilai spiritual dan moral. Kemudian, teknologi digital harus dimanfaatkan untuk mendorong keadilan dan peradaban. Dalam konteks politik, ini berarti memperlakukan setiap individu dengan adil, serta menghindari manipulasi data, atau penggunaan teknologi untuk tujuan tidak etis, seperti pencurian identitas atau penyebaran kebencian. Sedangkan prinsip persatuan dalam Pancasila mengajarkan kita untuk memanfaatkan teknologi digital guna memperkuat solidaritas nasional, mempromosikan dialog antar kelompok, dan memperkuat semangat kebhinekaan.
Setiap Informasi dan teknologi dalam prinsip keempat, yakni “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”, harus dimanfaatkan untuk memperkuat demokrasi partisipatif, mendukung transparansi, dan memastikan suara rakyat didengar, dan dipertimbangkan dengan baik. Terakhir, Rofii menerjemahkan Pancasila menjadi dasar etika digital politik dengan memanfaatkan kemajuan teknologi sebagai alat untuk mengurangi kesenjangan sosial-ekonomi dengan memperluas akses ke pendidikan, kesehatan, dan layanan publik.
Para aktor politik harus mampu beradaptasi dengan perubahan ini, dan mengintegrasikan metode konvensional dan digital secara cerdas. Jika berhasil, akan memiliki keunggulan dalam berkomunikasi dengan pemilih, dan memenangkan dukungan dalam politik Indonesia yang terus berkembang. Kombinasi keduanya, yang kemudian dijalani dengan kultur etika yang baik, adalah resep yang kuat untuk meraih sukses di ranah politik masa depan.(Red)