Polemik Konsep Living Law dan Hukum Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia

Polemik Konsep Living Law dan Hukum Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia

Spread the love

JP News – Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) telah disahkan menjadi Undang-undang. Pengesahan dilakukan dalam rapat paripurna DPR RI yang beragendakan pengambilan keputusan atas RUU KUHP, yang diadakan pada hari Selasa 06 Desember 2022. Menurut Menteri Hukum dan HAM, Yasonna H. Laoly dikatakan bahwa pengesahan ini merupakan momen bersejarah dalam penyelenggaraan hukum pidana di Indonesia. Setelah bertahun-tahun menggunakan KUHP produk Belanda, saat ini Indonesia telah memiliki KUHP sendiri. Pengesahan RUU KUHP menjadi undang-undang melalui proses panjang. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selama ini merupakan hukum materiil yang menjadi sumber hukum dalam penegakan hukum Pidana di Indonesia.

Keberadaan KUHP sebagai sebuah dasar dalam penyelenggaraan hukum pidana menunjukkan keberadaan Indonesia sebagai negara Hukum. Konsepsi Negara Hukum atau “Rechtsstaat” yang sebelumnya hanya tercantum dalam Penjelasan UUD 1945, kemudian pasca amandemen UUD NRI 1945 dirumuskan dengan tegas. Dalam Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan, “Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Konsep Negara Hukum, diidealkan bahwa yang harus dijadikan panglima dalam dinamika kehidupan kenegaraan adalah hukum, bukan politik ataupun ekonomi. Konsep yang biasa digunakan dalam bahasa Inggris untuk menyebut prinsip Negara Hukum adalah ‘the rule of law, not of man’. Wolfgang Friedman dalam bukunya ‘Law in a Changing Society’ membedakan antara ‘rule of law’ dalam arti formil yaitu dalam arti ‘organized public power’, dan ‘rule of law’ dalam arti materiel yaitu ‘the rule of just law’. Yang disebut pemerintahan pada pokoknya adalah hukum sebagai sistem, bukan orang per orang yang hanya bertindak sebagai ‘wayang’ dari skenario sistem yang mengaturnya.

Utrecht membedakan antara Negara Hukum Formil atau Negara Hukum Klasik, dan Negara Hukum Materiel atau Negara Hukum Modern. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Ide Negara hukum itu tidak dirumuskan secara eksplisit, tetapi dalam Penjelasan ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide ‘rechtsstaat’, bukan ‘machtsstaat’. Negara hukum ialah negara yang menjalankan pemerintahannya berdasarkan atas kekuasaan hukum (supermasi hukum) dan bertujuan untuk menyelenggarakan ketertiban hukum. Hal ini memberikan pengertian bahwa Negara, termasuk di dalamnya pemerintah dan lembaga-lembaga lainya dalam melaksanakan tindakan apapun yang harus didasari oleh kepastian hukum.

Berdasarkan Perubahan Ketiga Tahun 2001 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ketentuan mengenai rechstaat kembali dicantumkan secara tegas dalam Pasal 1 ayat (3). Negara Indonesia yang menegaskan dirinya sebagai negara hukum sebagaimana dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia Tahun 1945 memiliki sistem hukum yang berlaku. Indonesia menganut tiga sistem hukum sekaligus yang hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat maupun ketatanegaraan yakni sistem hukum civil, sistem hukum adat, dan sistem hukum Islam. Sistem hukum civil yang memiliki karakter “hukum tertulis“ berkembang di Indonesia selama masa kolonial Belanda dan tetap bertahan hingga sekarang mempengaruhi produk-produk hukum saat ini. Meskipun masa kolonial telah berakhir 72 tahun yang lalu, namun benih-benihnya masih dapat dirasakan hingga sekarang ini mengingat masih eksis dan berlakunya beberapa produk hukum civil kolonial Belanda. Di bidang hukum pidana, Wetboek van Strafrechts (WvS) masih berlaku melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1947 sebagai kitab pedoman dalam bidang pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

Dengan adanya pengesahan RUU KUHP oleh Komisi III DPR RI dan Pemerintah yang secara resmi telah menyepakati Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) untuk disetujui menjadi UU, maka Wetboek van Strafrechts (WvS) yang berlaku melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1947, tidak berlaku lagi. Beberapa hal penting yang menjadi perkembangan baru dan diatur dalam UU KUHP ini diantaranya adalah penerapan asas legalitas materiil dan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), doktrin ultimum remedium keadilan restoratif dan penerapan diversi, pergeseran menjadi aliran neo-klasik (memperhatikan faktor subyektif dan obyektif), perluasan subyek hukum pidana (termasuk Korporasi), penerapan asas pertanggungjawaban mutlak dan pengganti, pengaturan jenis pidana pokok baru (pengawasan dan kerja sosial) dan Penerapan Pidana Mati Bersyarat.

KUHP yang berlaku saat ini memang tidak memasukkan unsur hukum adat maupun hukum yang hidup di masyarakat sebagai hukum positif. Hukum adat memiliki otoritasnya dan berdiri sendiri dalam menangani setiap perkara di lingkup masyarakat adat tertentu. Hukum yang hidup di masyarakat dapat menjadi alasan melakukan kriminalisasi terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana (adat). Meskipun (penentuan pidana adat) masih belum ada kata sepakat soal rumusan hukum yang hidup di masyarakat.

Dalam proses penyusunan RUU KUHP, dari total sekitar 646 Pasal, secara substansi sebagian besar telah disepakati antara Panja DPR dan pemerintah. Ada satu ketentuan yang terus menuai perdebatan yakni keberadaan living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat (hukum pidana adat). Arsul Sani seorang anggota Panja mengemukakan agar pengaturan living law (hukum pidana adat) tetap diatur dalam RKUHP. Disisi lain pemerintah menilai perlu kajian mendalam jika ingin memasukkan aturan living law dalam RKUHP. Diakuinya, KUHP yang berlaku saat ini memang tidak menjadikan hukum yang hidup di masyarakat sebagai hukum positif. Sebab, hukum adat memiliki otoritasnya dan berdiri sendiri dalam menangani setiap perkara di lingkup masyarakat adat tertentu.

Masih belum ada kata sepakat soal rumusan hukum yang hidup di masyarakat. Dicontohkan dalam pelbagai pembahasan ketika penegakkan hukum adat yang tidak tertulis apakah tetap perlu melibatkan polisi, jaksa, hakim? “Apakah aparat penegak hukum perlu mengetahuinya atau sebaliknya bila nantinya dalam praktik penegakkan hukum di lingkup masyarakat adat. Ini masih jadi perdebatan juga? Dikhawatirkan penentuan perbuatan masuk atau tidaknya hukum yang hidup di masyarakat berada di tangan aparat penegak hukum akan menjadikan penegakan hukum yang subjektif yang berakibat terjadinya tindakan sewenang-wenang. Terdapat desakan agar pembentuk UU juga diminta untuk menerangkan konsep living law dalam RKUHP.

Telah ada kajian sebelumnya yang membahas topik yang sama sebuah jurnal Ahmad Dahlan yang berjudul Dediametralisasi Living Law dan Kepastian Hukum. Dalam jurnal ini dikaji tentang apakah konsep living law yang tidak tertulis namun diakomodir dalam sistem hukum tertulis dapat berkorelasi dengan prinsip kepastian hukum sebagaimana salah satu ciri hukum tertulis. Dalam tulisan ini lebih akan membahasa ketidakadanya persamaan persepsi konsep hukum yang hidup dengan hukum adat. Hal ini menggugah penulis untuk melakukan kajian dengan memberikan rumusan masalah dalam tulisan yaitu bagaimana polemik Konsep Living Law dan Hukum Adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia?

Penelitan ini merupakan penelitan hukum dengan metode hukum normatf yang bersifat preskriptf. Menurut Peter Mahmud Marzuki, di dalam penelitan hukum umumnya dikenal beberapa pendekatan penelitan yakni: pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan perbandingan (comparatve approach) dan pendekatan sejarah (historical approach). Tulisan ini menggunakan pendekatan perbandingan (comparative approach) dan pendekatan sejarah (historical approach). Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua peraturan perundang-undangan yang bersangkut paut dengan isu yang sedang dikaji yakni undang-undang dan regulasi yang berhubungan dengan sistem hukum adat dan hukum pidana. Pendekatan sejarah (historical approach) berkaitan dengan sejarah hukum (legal historis) dari sistem-sistem hukum yang ada di Indonesia. Sedangkan pendekatan perbandingan (comparatve approach) dilakukan dengan cara membandingkan konsep living law dengan konsep hukum adat dalam penerapan sistem hukum pidana dan sistem hukum adat di Indonesia.

1.Konsep Living Law dengan Hukum Adat
Menurut Soepomo hukum adat adalah hukum yang hidup (the living law), karena ia menjelmakan perasaan hidup yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan fitrahnya, hukum adat terus menerus tumbuh dan berkembang seperti masyarakat sendiri. Hukum adat merupakan istilah yang pertama kali muncul pada masa penjajahan colonial VOC di bawah kekuasaan negara Belanda oleh Van Vollenhoven. Hukum adat tidak sama dengan customary law, sebagai terjemahan hukum adat dalam Bahasa Inggris. Hukum adat menunjukkan aturan-aturan kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat yang tidak berbentuk peraturan-perundangan yang dibentuk oleh penguasa pemerintahan.

Prof.Van Vallenhoven, yang pertama kali menyebut hukum adat memberikan definisi hukum adat sebagai Himpunan peraturan tentang perilaku yang berlaku bagi orang pribumi dan timur asing pada satu pihak yang mempunyai sanksi (karena bersifat hukum) dan pada pihak lain berada dalam keadaan tidak dikodifikasikan (karena adat). Pendapat Van Vollenhoven ditegaskan oleh Abdulrahman bahwa rumusan Van Vallenhoven dimaksud memang cocok untuk mendeskripsikan apa yang dinamakan Adat Recht pada jaman tersebut bukan untuk Hukum Adat pada masa kini. Menurut J.H.P. Bellefroid Hukum adalah suatu peraturan hidup yang tidak tertulis dan tidak diundangkan, tapi dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum. Lebih lanjut oleh Menurut Prof. Mr. B. Terhaar Bzn, hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan dari kepala-kepala adat dan berlaku secara spontan dalam masyarakat. Pendapat Terhaar tentang definisi hukum adat terkenal dengan teori “Keputusan” artinya bahwa untuk melihat apakah sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari sikap penguasa masyarakat hukum terhadap sipelanggar peraturan adat-istiadat. Apabila penguasa menjatuhkan putusan hukuman terhadap sipelanggar maka adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat.

Menurut Soerjono Soekanto, Hukum adat pada hakikatnya adalah hukum kebiasaan yang mempunyai akibat hukum, dan merupakan perbuatan yang diulangulang dalam bentuk yang sama menuju pada “rechtsvardigeordening der samenlebing”. Menurut hasil Seminar Hukum Adat dan pembinaan Hukum Nasional Hukum adat diartikan sebagai Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia, yang di sana sini mengandung unsur agama. Menurut Bushar Muhammad Hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusai Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan, dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan peraturan mengenai sanksi atas pelanggaran yang ditetapkan dalam keputusan para penguasa.

Menurut Dr. Sukanto, S.H. menyatakan bahwa hukum adat adalah kompleks adat-adat yang pada umumnya tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai akibat hukum. Menurut Djojodigoeno, dalam dimensi hukum adat mengandung dua dimensi, yaitu dimensi formal dan materiil. Dalam dimensi formal hukum adat adalah hukum yang tidak tertulis. Sedangkan dimensi materialnya hukum adat adalah sistem norma yang mengekspresikan perasaan keadilan masyarakat. Dalam konteks Indonesia, living law masyarakat Indonesia adalah hukum Adat. Hukum adat juga dapat dijadikan sebagai sumber hukum oleh hakim jika undang-undang memerintahkan demikian. Hukum Adat merupakan hokum yang tdak dikodifkasi di kalangan bangsa Indonesia dan Timur asing (antara lain Tionghoa dan Arab). Sedangkan untuk menganalisa kedudukan hukum adat dalam sistem hukum perlu kiranya diperhatkan salah satu aliran alam ilmu hukum yaitu, Sociological Jurisprudence yang disampaikan oleh Eugen Ehrlich. Konsepsi dasar dari pemikiran Ehrlich tentang hukum adalah apa yang dinamakan dengan living law.

Istilah the living law pertama kali dikemukakan oleh Eugen Ehrlich sebagai lawan kata dari state law. State Law dimaknai sebagai hukum dibuat oleh negara atau hukum positif . Bagi Eugen Ehrlich perkembangan hukum berpusat pada masyarakat itu sendiri, bukan pada pembentukan hukum oleh negara, putusan hakim, ataupun pada pengembangan ilmu hukum. Eugen Ehrlich ingin menyampaikan bahwa masyarakat merupakan sumber utama hukum. Hukum tidak dapat dilepaskan dari masyarakatnya. Dengan dasar tersebut, Eugen Ehrlich menyatakan bahwa hukum yang hidup (the living law) adalah hukum yang mendominasi kehidupan masyarakat itu sendiri walaupun belum dimasukkan ke dalam proposisi hukum. Dari pendapat di atas, dapat diketahui bahwa the living law merupakan seperangkat ketentuan yang kelahirannya bersamaan dengan lahirnya masyarakat. Hukum tidak dapat dilepaskan dari masyarakat. Hukum dibentuk oleh masyarakat, dan hukum berfungsi untuk melayani kepentingan masyarakat. Karenanya, bagi Eugen Ehrlich hukum negara atau yang disebut sebagai state law bukan merupakan sesuatu yang independen dari faktor-faktor kemasyarakatan. Hukum negara harus memperhatikan the living law yang telah hidup dan tumbuh dalam kehidupan masyarakat. Terkait dengan hal tersebut, Eugen Ehrlich menyatakan:

“Rules of law were not lifeless constructions which existed independently of the social reality. On the contrary, they are parts of the “living”, i.e. functioning and effective order of social communications, which protect certain interests privileged by society and discriminates those interests that are denounced and disapproved by society. Society itself engenders a general order of societal relations, which later is put into legal forms by social groups and individuals who act thereby in the capacity of lawmakers (in the broader meaning, as specified above)”.
Selain pendapat dari Eugen Ehrlich di atas, konsep The living law juga dapat dilihat dari mazhab sejarah dengan eksponen utama Friedrich Karl von Savigny. F.K. von Savigny mengemukakan teorinya sebagai bantahan terhadap transplantasi hukum Romawi dan kodifikasi Jerman menjadi hukum Prancis. Untuk itu, F.K. von Savigny mengemukakan teori Volksgeist (national character, nationelgeist, volkscharacter, jiwa bangsa) yang menyatakan bahwa hukum lahir dari keyakinan bangsa tersebut. Lebih lanjut, F.K. von Savigny menyatakan bahwa hukum merupakan salah satu aspek dari budaya yang hidup dalam masyarakat. Karenanya, hukum itu ditemukan dalam masyarakat, tidak diciptakan oleh yang berkuasa. Hukum merupakan refleksi jiwa suatu bangsa yang khas dan asasi yang berbeda antara satu bangsa. Hukum bukanlah buatan alam atau Tuhan, namun hukum dapat ditelusuri dalam denyut kehidupan masyarakat. Hukum merupakan bagian terpenting dari kehidupan masyarakat dan bangsa.

Hukum eksis, berkembang, melemah dan menguat mengikuti kondisi masyarakat. Hal tersebut menandakan bahwa hukum tidak dapat dilepaskan dari masyarakat. Bahkan seperti yang kemukakan oleh Karunamay Basu “laws grows with a nation, increases with it and dies at its dissolution and is characteristic of it”. Dari pendapat F.K. von Savigny tersebut, maka dapat diketahui bahwa hukum yang ideal adalah hukum yang digali dari masyarakatnya, bukan hukum yang dibentuk dan lepas dari kontesk masyarakat dimana hukum itu hidup. Hukum yang demikian itu disebut sebagai The living law yakni hukum yang hidup, tumbuh dan eksis bersama dalam kehidupan bermasyarakat. Negara tidak boleh hanya mentransplantasi hukum yang bukan dari jiwa dan budaya masyarakatnya, namun negara wajib menggali the living law.

Menurut Prof Sulis Irianto, living law bukan sekedar istilah biasa, tetapi merupakan konsep utama yang dipelajari secara menyejarah dalam berbagai percabangan ilmu hukum seperti antropologi hukum. Living law esensinya adalah hukum yang senyata-nyatanya dianut atau berlaku dalam masyarakat. Dalam studi pluralisme hukum dipahami bahwa hukum negara bukan satu-satunya hukum yang memonopoli perilaku warga masyarakat. Dalam realitas keseharian terdapat hukum adat, hukum agama, kebiasaan, atau hibridasi di antaranya, yang sama efektif keberlakuannya dalam relasi antar warga. Hukum negara dengan supremasinya memang paling kuat daya ikatnya. Begitu seseorang diindikasi melanggar hukum, maka polisi (representasi negara) bisa segera menangkapnya. Namun hukum negara amat jarang ditemui dalam keseharian kecuali perjumpaan dengan soal administratif kependudukan, transaksi perdata atau pelanggaran pidana. Hukum yang paling lekat dengan keseharian justru hukum-hukum lain di luar negara.

Dapat dipandang living law tidak identik dengan rumusan teks hukum secara normatif, baik hukum negara, adat, agama maupun norma hukum tidak tertulis. Teks hukum selalu berisi norma ideal, cita-cita melindungi masyarakat dari kejahatan, keserakahan, dan mendistribusi keadilan. Selalu ada jurang antara rumusan ideal dan praktik hukum dalam masyarakat. Tidak semua orang patuh hukum, ada saja orang melanggar hukum. Jadi manakah the living law ? Hukum yang sudah mengalami ujian dalam kasus sengketa, yaitu ketika pelanggaran hukum diselesaikan di pengadilan atau komunitas adat atau agama. Disitulah Pasal atau normal ideal mengalami ujian melalui perdebatan hakim dan para pihak. Kemudian lahirlah pertimbangan dan putusan hakim. Living law itu sebenarnya adalah putusan hakim atau otoritas dalam komunitas, hasil ujian terhadap teks hukum, dan inilah hukum yang sungguh akan ditaati, nyata berlaku dalam masyarakat.

2.Polemik Hukum adat dalam Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia Melalui RUU KUHP
Pembaharuan hukum termasuk hukum pidana adalah keniscayaan,  karena kebutuhan akan keadilan masyarakat yang terus berubah harus bisa diakomodasi.  Dalam Proses Rancangan Kitab Hukum Pidana (RKUHP) terdapat  Pasal-Pasal yang dipersoalkan kalangan masyarakat sipil, karena dikhawatirkan menimbulkan dampak krimininalisasi berlebihan. Beberapa lembaga hukum melakukan kajian   terhadap Pasal-Pasal penting RKUHP dan menyuarakannya. Pada tanggal 26 Agustus 2019, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengadakan  diskusi yang bertema “Living Law dalam RKUHP”. Dalam Agenda tersebut sebagaimana dikutip dalam laman YLBHI, Prof. Rato memaparkan kritiknya mengenai Pasal 2 RKUHP yang berbunyi sebagai berikut:
(1) “Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam undang-undang ini;

(2), Hukum yang hidup dalam masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku dalam tempat hukum itu dan sepanjang tidak diatur dalam undang-undang ini dan sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, hak asasi manusia, dan asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.”

Penjelasan atas Pasal 2 RUU KUHP dituliskan bahwa
“Dalam Undang-Undang ini diakui pula adanya Tindak Pidana atas dasar hukum yang hidup dalam masyarakat atau yang sebelumnya dikenal sebagai Tindak Pidana adat untuk lebih memenuhi rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat,”

Menurutnya, Pasal 2 Ayat (1) bisa menjadi alat kriminalisasi dan juga batu sandungan terhadap siapapun yang melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan kebijakan pemegang kekuasaan. Sementara untuk Pasal 2 Ayat (2), bisa berakibat nantinya akan semakin banyak orang asing yang datang ke Indonesia dengan membawa hukum-hukumnya yang mana nantinya akan membuat hukum di masyarakat adat menjadi tergerus. Prof Rato berpendapat bahwa Pasal 2 RKUHP harus ditolak karena subjek hukum yang tidak jelas dengan ruang lingkup yang tidak terbatas. Perlu dingat juga bahwa di pinggir jalan sekalipun ada hukum yang hidup, atau yang disebut hukum rakyat. Rumusan pasal ini seperti ‘lubang atau jebakan’ yang siap menerima siapapun yang terperosok ke dalamnya. Seandainya pasal ini ditujukan pada ‘hukum adat’ maka keberlakuannya terbatas hanya pada masyarakat hukum adat tertentu. Tetapi, jika rumusan ‘hukum yang hidup’ ini tidak ditujukan pada hukum tidak tertulis tertentu, maka ia menjadi batu sandungan kepada setiap orang.

Melengkapi penjelasan dari Prof. Dominikus Rato, dalam acara yang sama Prof. Sulistyowati Irianto memaparkan bahwa penting adanya pemisahan hukum dengan moralitas. Dalam arena-arena sosial terdapat ko-eksistensi antara hukum negara dan hukum non-negara seperti hukum adat, hukum agama, dan kebiasaan atau yang biasa dikenal dengan Pluralisme Hukum. Di dalam komunitas hidup bermasyarakat, ada living law yang berlaku sebagai hukum masyarakat kita. Menurut Prof. Sulis, harus jelas apa yang dimaksud dengan living law, karena dalam praktiknya bisa digunakan untuk melegalisasi politisasi identitas dan bersifat mysoginis. Menurut Prof. Sulis, sebaiknya pembuat kebijakan tidak memaksakan untuk memasukkan unsur etika moral atau agama dalam hukum Negara karena bila disatukan keduanya akan mengalami pembusukan. Hukum juga harus dirumuskan dengan menghitung pengalaman dan realitas perempuan dan kelompok yang rentan seperti masyarakat adat, warga miskin dan kelompok minoritas.
Dalam Agenda yang sama Tommy Indyan juga menambahkan bahwa ada ragam bentuk pengakuan negara atas masyarakat hukum adat. Di antaranya, Pasal 18B ayat (2) UUD 1945, Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu juga tercantum dalam Permendagri No. 35 Tahun 2014, dan Pasal 67 UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999. Bahkan ada pula pengakuan dalam bentuk Perda (Khusus Dalam Kawasan Hutan) dan Keputusan Kepala Daerah (Khusus Di Luar Wilayah Adat), serta melalui putusan pengadilan. Contohnya, Putusan Pengadilan Tinggi Makassar No 427/Pid/2008, yang mana hakim menghukum seseorang karena persetubuhan di luar perkawinan. Padahal, dalam KUHP perbuatan tersebut tidak dilarang namun hakim mempertimbangkan hukum adat yang hidup dalam masyarakat yang melarang hal itu.

Era Purnamasari memaparkan bahwa beredar pemikiran yang hendak menyingkirkan hukum-hukum adat yang berada di masyarakat, misalnya dengan adanya perampasan ruang hidup di seperti pengelolaan hutan HTI dan HTR. Menurutnya RKUHP seperti dibuat untuk menjunjung tinggi hukum di masyarakat tetapi juga ingin mengambil alih semua hukum-hukum yang berlaku di masyarakat. Living Law (dalam arti hukum adat) merupakan hukum yang dinamis dan tidak mudah untuk dimusnahkan. Hukum adat juga plural dan berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Ahmad Sofian menyoroti bahwa tindak pidana yang didasarkan pada living law atau tindak pidana adat bisa memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat. Pengadilan pun dapat berperan untuk menerapkan hukum adat yang ada di suatu wilayah, misalnya jika terjadi pelanggaran maka hakim dapat memberikan hukuman “pemenuhan kewajiban adat”.

Ahmad Sofian juga tak luput mengkritik penjelasan RKUHP pasal 2 ayat 1 yang menurutnya memperluas makna “asas legalitas” karena menyandarkan dasar penghukuman kepada hukum yang tidak tertulis. Ia juga mengkritik penjelasan RKUHP pasal 2 ayat 2 yang memberikan batasan soal ”living law” pada nilai-nilai Pancasila, HAM dan prinsip-prinsip hukum nasional dan global yang menurutnya sangat sumir. Living law tersebut di perbolehkan untuk dilaksanakan di tengah-tengah masyarakat. Dalam kenyataannya di beberapa daerah di tanah air, masih terdapat ketentuan hukum yang tidak tertulis, yang hidup dan diakui sebagai hukum di daerah yang bersangkutan, yang menentukan bahwa pelanggaran atas hukum itu patut dipidana. Dalam hal ini hakim dapat menetapkan sanksi berupa pemenuhan kewajiban adat setempat yang harus dilaksanakan oleh pelaku Tindak Pidana.

Pemerintah mengatur keberadaan Hukum Adat dalam UU KUHP menunjukkan pengakuan pemerintah terhadap keberadaan hukum adat. Hukum adat merupakan salah satu karakter hukum yang masuk dalam RUU KUHP. Dalam pembahasan di parlemen, disepakati untuk memenuhi asas legalitas, akan dibuat kompilasi hukum adat yang nantinya menjadi sumber hukum pidana. Tidak semua hukum adat bisa diadopsi. Pasal 2 ayat (2) RUU KUHP menetapkan syarat yang harus dipenuhi diantaranya sesuai dengan Pancasila, UUD1945, HAM, dan asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab. Jika nanti ada pihak yang merasa dirugikan atas ketentuan itu, mereka bisa mengajukan uji materi ke MK. Begitu pula jika pidana hukum adat itu sudah dituangkan dalam bentuk Perda, masyarakat bisa mengajukan gugatan.
Tapi aturan mengenai pidana hukum adat ini tidak langsung berlaku ketika RUU KUHP diterbitkan, disebutkan bahwa ada jangka waktu dua tahun. Setelah RUU KUHP disahkan, pemerintah bertugas untuk membentuk kompilasi hukum adat, penyusunannya dilakukan secara cermat dan hati-hati melalui Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN). Di dalam pasal 2 RKUHP tersebut terdapat beberapa syarat agar living law tersebut bisa memberikan sanksi pidana atau bisa diterapkan terhadap kepada pelaku tindak pidana yaitu selama tidak bertentangan dengan asas-asas yang ada salah satunya asas kepastian hukum.

Negara Indonesia tidak hanya memperhatikan aspek kepastian hukum dibalik asas legalitas dengan menetapkan suatu perbuatan hukum di dalam peraturan perundang-undangan atau hukum positif yang ditetapkan otoritas terkait namun juga memperhatkan rasa keadilan di masyarakat atau keadilan substantif dalam common law system. Di luar semua itu, ada pluralisme hukum yang secara historis telah berlangsung dalam fase cukup lama dan berpengaruh seperti hukum adat, dan hukum agama atau kepercayaan. Oleh karena itu, living law menjadi konsep hukum yang diakui di Indonesia sekaligus menjadi sumber hukum selain undang-undang, bahkan pada praktiknya menjadi sumber materiil dari hukum positif.

Berbicara tentang hukum lazimnya akan terpaku dengan definisi bahwa hukum identik dengan undang-undang dan berbagai kebijakan yang ditetapkan oleh pihak yang memiliki otoritas atau disebut hukum positif. Konsepsi demikian sangat dipengaruhi oleh paham legisme yang menitikberatkan tiada hukum selain ketentuan di dalam undang-undang. Hal tersebut secara komprehensif dapat dipahami mengingat sistem hukum di Indonesia adalah berdasarkan Pancasila.
Prinsip negara hukum dengan Pancasila sebagai staatsfundamental norms dan rechtsidee merupakan konsep negara hukum yang berbeda dari gagasan yang berkembang di Barat. Menggunakan konsep prismatik, negara hukum Pancasila telah mendamaikan dualisme kekuatan sistem hukum besar di dunia yaitu civil law dan common law system. Konsep prismatik telah mengakomodasi berbagai sisi-sisi terbaik dari kedua sistem tersebut untuk selanjutnya melahirkan sistem baru. Aspek fundamental yang saling berlawanan ialah kepastian hukum berdasarkan asas legalitas dalam civil law dan keadilan substantif dalam common law. Menurut Arief Hidayat, karakteristik negara hukum Pancasila dapat dibagi menjadi lima yaitu:

  1. Suatu negara yang dilandasi prinsip kekeluargaan;
  2. Negara hukum yang berkepastian dan berkeadilan;
  3. Religious Nations State;
  4. Memadukan hukum sebagai sarana perubahan masyarakat dan hukum sebagai cermin masyarakat; dan
  5. Basis pembuatan dan pembentukan hukum nasional haruslah di dasarkan pada prinsip hukum yang bersifat netral dan universal.

Oleh sebab itu merumuskan pidana hukum adat dalam RUU KUHP perlu memperhatikan sifat hukum adat itu sendiri. Hukum adat adalah hukum tidak tertulis. Hukum adat sifatnya tidak kaku, hukum adat itu dinamis dan bergerak mengikuti perkembangan zaman. Dalam perspektif budaya, unsur hukum yang sukar berubah bersinggungan dengan unsur kebudayaan inti seperti ideologi, termasuk apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan perempuan dan pria. Hukum adat bukanlah hukum yang sekali dibuat selamanya akan tetap tinggal, hukum adat selalu berkembang.

Sebagai hukum tidak tertulis justru mampu menjadi pemersatu, dan menjadi solusi bahkan menciptakan ketentraman dalam pergaulan hidup masyarakat. Bahkan, saat ini nilai hukum adat digunakan dalam penyelesaian sengketa baik perdata maupun pidana dengan berkembangnya metode atau pendekatan yang dikenal dengan pendekatan restoratif (restoratve approach), sangat mirip dengan pendekatan partciperend coschmish yang dianut oleh masyarakat adat. Implementasi pemulihan keadaan keseimbangan berdasarkan pola pikir partciperend coschmish tersebut, menjelma dalam beberapa upacara, pantangan atau ritus (rites de passage). Fakta ini sedikit menunjukkan bahwa konsepsi dan pola pikir hukum yang hidup di masyarakat ternyata bukan saja masih relevan, melainkan menjadi inspirasi bagi negaranegara lain untuk mengembangkan hukum guna memenuhi rasa keadilan masyarakat. Masyarakat adat memiliki pola yang sama dalam menyelesaikan konfik di masyarakat, yakni mengontrol kehidupan dalam masyarakat dan menjatuhkan sanksi jika dilanggar sehingga pemulihan menjadi sangat efektif.

Keberadaan hukum adat yang masuk dalam pembentukan hukum pidana di Indonesia menunjukkan adanya pluralisme hukum yang ada di Indonesia. Mengingat hukum Adat adalah hukum yang mencerminkan kepribadian dan jiwa bangsa, sudah sepatutnya diyakini bahwa sebagian pranata hukum Adat tentu masih relevan menjadi bahan dalam membentuk sistem hukum Indonesia. Hukum Adat yang tdak lagi dapat dipertahankan akan punah seiring berjalannya waktu, sesuai dengan sifat hukum adat yang feksibel dan dinamis (tidak statis). Menurut Von Savigny sebagaimana dikutp oleh Soepomo menegaskan bahwa Hukum Adat adalah hukum yang hidup, karena merupakan penjelmaan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai jati dirinya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri.

Pengaturan hukum adat sebagai pemaknaan konsep living law dalam Pasal 2 RKUHP ialah sebagai satu bentuk pelibatan dua sistem hukum hukum yang berlaku di Indonesia yaitu hukum adat. Hal ini menunjukkan terobosan penting dalam proses pembaharuan hukum pidana di Indonesia yang bersifat legalistic formil. Sejalan dengan pandangan Mochtar Kusumaatmadja, hukum itu harus peka terhadap perkembangan masyarakat dan bahwa hukum itu harus disesuaikan dan menyesuaikan diri dengan keadaan. Dalam teori hukum progresif,ditegaskan bahwa suatu proses pembentukan peraturan perundangundangan adalah mutlak harus memperhatkan nilai-nilai dan norma–norma hukum yang hidup dan berlaku dalam masyarakat (living law).

Penegakan hukum pidana dengan memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law) dapat mendukung keberadaan pendekatan restorative justice sehingga diharapkan memberikan rasa keadilan bagi masyarakat oleh karena penegakan hukum pidana tidak lagi bersifat legalitas formil yaitu melalui pendekatan undang-undang belaka,. Rumusan living law di RKUHP bearti penegakan hukum pidana Indonesia bisa lebih akomodatif dan partisipatif. Hal ini sejalan dengan adanya Pengakuan dan Penghormatan terhadap Masyarakat Hukum Adat dan Hukum Adat secara Konstitusional berdasarkan Pasal 18B UUD NRI 1945. Kendati demikian Formalisasi hukum adat dalam RKUHP bukanlah solusi esensial dalam memanusiakan warga masyarakat adat. Juga, upaya memetakan dan mengidentifikasi siapa masyarakat adat di Indonesia bukan perkara mudah karena identitas masyarakat adat dan hukumnya tidak tunggal dan seragam.

Sejatinya konsep living law yang tidak sama dengan hukum adat perlu dipahami oleh seluruh masyarakat, khususnya pada penegak dan ahli hukum di Indonesia, jangan sampai pemaknaan hukum asing lebih kuat dibandingkan dengan hukum asli Indonesia yaitu hukum

Tulisan ini sebagai bentuk upaya penulis melakukan pengembangan bidang keilmuan Hukum Adat sebagai hukum Asli Bangsa Indonesia, yang perlu dikuatkan keberadaannya. Terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu penulis baik dukungan secara materi maupun moril. Dr. Safrin dan Kepada Prof. Endang Sumiarni yang selalu mendukung penulis. Masih banyaknya kekurangan di tulisan ini menjadi catatan bagi penulis kedepan. Kritik dan saran membangun senantiasa penulis harapkan dari pembaca sekalian.

Penulis Sekhar Chandra Pawana, SH. MH Dosen hukum adat universitas Atmajaya Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!