Jakarta – Jangkarpena.com Dr.Seno menjelaskan bahwa ” Indonesia adalah negara hukum “Hal ini tercermin dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang secara tegas menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum” Ucapnya. Kamis 16 September 21.
Melindungi hak asasi setiap manusia, menciptakan rasa keadilan bagi seluruh masyarakat tanpa mengenal kasta menjadi petunjuk dalam pergaulan bagi setiap anggota masyarakat menjaga agar tidak terjadi perbuatan main hakim sendiri dalam pergaulan masyarakat.
Menurut Dr.Seno “Sebagai Negara hukum maka seluruh aspek dalam bidang kemasyarakatan, kebangsaan, dan kenegaraan termasuk pemerintahan harus senantiasa berdasarkan atas hukum,secara historis, konsep negara hukum muncul dalam berbagai model, antara lain negara hukum menurut agama Islam, negara hukum menurut konsep Eropa Kontinental yang dinamakan rechsstaat, negara hukum menurut konsep Anglo Saxon (rule of law), konsep socialist legality, dan konsep negara hukum Pancasila ” ujarnya .
Lebih lanjut Founder LawFirm DSW & Partner m Asst Prof Dr Dwi Seno Wijanarko.SH.MH.CPCLE menjelaskan mengenai “Asas keadilan hukum dan” Asas ini meninjau dari sudut filosofis, dimana keadilan adalah kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan dan tentunya untuk tujuan Keadilan hukum yaitu keadilan yang pada asalnya tidak berbeda, tetapi bilamana telah dijadikan landasan, ia menjadi berlainan tentunya tentang keadilan .
Berbicara tentang Peradilan tentunya selalu menjadi kajian yang menarik untuk di perbincangkan. selalu dinamis dan selalu mengikuti perkembanangan hukum namun hal tersebut tentunya harus di batasi bagi hakim didalam menjatuhkan putusan, setidaknya didalam menjatuhkan putusan seorang hakim harus menurut keyakinannya di dalam menganalisa fakta fakta yang dikemukakan di persidangan dan juga harus mengacu kepada sekurang-kurangnya minimal 2 alat bukti sebagaimana diatur dalam kenentuan 183 KUHAP.
Dr. Seno Menjelaskan Dalam Pasal 183 KUHAP disebutkan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang- kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dengan demikian apabila suatu perbuatan yang disangkakan sebagai perbuatan pidana apabila tidak memenuhi unsur sekurang- kurangnya dua alat bukti maka perbuatan tersebut tidak dapat dikatakan sebagai perbuatan pidana.
Sejalan dengan hal tersebut mengenai penjelasan tentang alat bukti yang sah telah diatur dalam Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah:
a. Keterangan Saksi
b. Keterangan Ahli
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan Terdakwa
Alat bukti yang dimaksudkan di atas adalah alat bukti yang sah menurut KUHAP.
Tidak sampai disitu Saja karena menurut Pakar ahli pidana dari universitas Bhayangkara tersebut juga menerangkan didalam menjatuhkan putusan juga hakim harus memuat 3 aspek :Kepastian Hukum, Kemanfaatan Hukum dan Keadilan.
1. Kepastian hukum
Kepastian Hukum menekankan agar hukum atau peraturan itu ditegakkan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum/ peraturannya. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam hal terjadi peristiwa yang konkret. Bagaimana hukumnya itulah yang harus berlaku, sehingga pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang, meskipun dunia ini runtuh namun hukum harus ditegakkan. Inilah yang diinginkan oleh kepastian hukum. Kepastian hukum sebagai perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang wenang, yang berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan adanya kepastian hukum, karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib. Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan ketertiban masyarakat. ada empat hal yang berhubungan dengan makna kepastian hukum. Pertama bahwa hukum itu positif.
Kedua, bahwa hukum itu didasarkan pada fakta atau hukum yang ditetapkan itu pasti yaitu dengan adanya keterangan.
Ketiga, bahwa kenyataan (fakta) harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan di samping mudah dilaksanakan.
Keempat, hukum positif tidak boleh mudah berubah
2. Nilai sosiologis (kemanfaatan)
Masyarakat mengharapkan manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul keresahan di dalam masyarakat.
3. Filosofis (keadilan)
Dari pembahasan di atas dapat dikatakan. bahwa dasar filosofis Undang-Undang ialah Pancasila yang merupakan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia yang memiliki lima. asas moral yakni ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial.
Secara universal dapat dikatakan bahwa fungsi hukum yang utama adalah sebagai sarana pengendalian hidup bermasyarakat dengan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat atau dengan perkataan lain sebagai sarana kontrol sosial. Tujuan dari pemidanaan adalah untuk memperbaiki pribadi penjahat sendiri, membuat orang jera untuk melakukan tindak pidana, membuat penjahat- penjahat tertentu tidak mampu untuk melakukan tindak pidana. lebih lanjut tujuan pidana penjara adalah untuk menimbulkan rasa derita pada terpidana karena dihilangkannya kemerdekaan bergerak, membimbing terpidana agar bertobat, mendidik supaya ia menjadi seorang anggota masyarakat sosialis di Indonesia yang berguna
bisa dilakukan pelajaran berupa hukuman.
Selain itu penjatuhan pidana dimaksudkan agar terdakwa tidak mengulangi perbuatan tersebut dan juga bagi masyarakat merupakan suatu shock therapy. Sekali lagi penjatuhan pidana bukan semata-mata sebagai pembalasan dendam tetapi yang paling penting adalah pemberian bimbingan serta teladan dan pembinaan agar dapat menjadi manusia yang lebih baik lagi.
Konsepsi baru fungsi pemidanaan adalah bukan lagi sebagai penjeraan belaka, namun juga fungsi pemidanaan sebagai upaya rehabilitasi dan reintegrasi sosial (pemasyarakatan) sehingga seseorang yang telah menjalani pidana dapat dengan cepat kembali lagi beradaptasi di tengah masyarakat, sebagaimana layaknya warga negara yang memiliki hak dan kewajiban yang sama.
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.” Sedangkan Pasal 6 ayat (2) Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan “Tidak seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan
karena alat pembuktian yang sah menurut undang-undang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya.” Dapat digambarkan bahwa penjatuhan pidana kepada seseorang berdasarkan alat bukti yang cukup. Secara universal dapat dikatakan bahwa fungsi hukum yang utama adalah sebagai sarana pengendalian hidup bermasyarakat dengan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat atau dengan perkataan lain sebagai sarana kontrol sosial. Tujuan dari pemidanaan adalah untuk memperbaiki pribadi penjahat sendiri, membuat orang jera untuk. melakukan tindak pidana, membuat penjahat- penjahat tertentu tidak mampu untuk melakukan tindak pidana.” Jelas Dr. Seno (Romo Kefas)