Talempong, warisan budaya takbenda nasional dari Sumatra Barat sudah ada sejak abad 13 dan dimainkan dengan dua teknik, yakni “dipacik” (dipegang) dan dijajarkan dalam wadah kayu.
Jangkarpena.com Indonesia adalah negara pemilik 17 ribu pulau dengan populasi, menurut Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri, per Juni 2022 sebanyak 275,36 juta jiwa dan terbagi ke dalam 1.340 suku dan etnis. Mereka kemudian melakukan aneka kegiatan kemasyarakatan dalam berbagai bentuk yang menciptakan produk seni dan budaya.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi sampai dengan 22 November 2022 menyebut, dari sekitar 11.622 produk seni dan budaya yang tercatat, ada 1.728 di antaranya telah ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda nasional. Bentuknya bermacam-macam, seperti seni pertunjukan, kerajinan tradisional, tradisi lisan, kuliner dan lain sebagainya.
Salah satu warisan budaya takbenda nasional itu adalah talempong, berupa alat musik pukul berbahan logam dari Sumatra Barat. Menurut profesor emeritus bidang etnomusikologi dari Monash University, Australia, Margaret Joy Kartomi, talempong diperkirakan sudah masuk ke Minangkabau pada abad ke-13, bersamaan mulai berkembangnya Islam di Ranah Minang.
Dalam laporan penelitiannya berjudul Musical Strata in Sumatera, Java, and Bali yang ia lakukan pada 1998, kesenian talempong bersama gong diperkirakan dibawa masuk ke Nusantara oleh para perajin perunggu asal Tonkin, di utara Vietnam. Suara dari alat musik pukul yang disebut Kartomi telah memikat hati pemimpin Kerajaan Pagaruyung, Raja Adityawarman, dan hanya dimainkan untuk menyambut tamu kerajaaan. Dalam perjalanannya, seni talempong kemudian menjadi simbol, prestise, dan kebesaran dari raja-raja Kerajaan Pagaruyung.
Alat musik talempong terbuat dari campuran tembaga, timah putih dan besi putih berbentuk silinder. Diameternya 17–18 sentimeter dan tinggi 8,5–9 cm dengan ukuran bagian atas dan bawahnya tidak sama. Ada semacam benjolan atau pencu pada bagian atas alat musik ini dan bagian bawahnya berlubang atau berongga. Ketebalan logam talempong berkisar 3–4 milimeter.
Sepintas, talempong menyerupai aguang (gong besar) atau bonang yaitu gong kecil pada pertunjukan gamelan. Cara memainkannya pun sama, yakni dipukul memakai tongkat kayu kecil (stick). Kualitas suara yang dihasilkan oleh talempong akan bergantung kepada unsur logam pembentuknya. Semakin banyak kandungan tembaga pada logam alat musik talempong, maka suaranya pun akan semakin baik.
Melansir website Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek, talempong telah menyatu dalam kehidupan masyarakat adat di Minangkabau dan dimainkan saat acara-acara khusus. Umumnya talempong dimainkan bersama alat musik tradisional Minang lainnya, seperti gendang, saluang, dan sarunai.
Talempong juga kerap dijadikan panduan tempo dari musik yang sedang dimainkan. Sehingga, talempong seperti garam dalam masakan, tak lengkap sebuah pertunjukan tari atau acara-acara adat digelar tanpa kehadiran alat musik ini.
Talempong Pacik
Ada dua cara memainkan talempong, yaitu dengan teknik tradisional (interlocking) dan teknik modern. Kedua teknik itu menghasilkan nada-nada pentatonik, ciri khas alat musik tradisional.
Pada teknik tradisional, talempong dimainkan oleh tiga orang dan masing-masing memainkan dua talempong. Caranya, dipegang dengan tangan kiri secara vertikal, atas dan bawah. Yang atas dijepit ibu jari dan telunjuk, sedangkan yang bawah digantungkan pada jari tengah, manis dan kelingking. Jari telunjuk menjadi pemisah antara kedua talempong, membuat suara talempong nyaring.
Pada teknik pertama itu, tangan kanan berfungsi memegang dan memukulkan stick ke perangkat talempong. Cara memainkan seperti ini dikenal sebagai teknik dipacik atau dipegang. Masyarakat di Sumbar memahaminya dengan talempong pacik. Ada tiga jenis talempong pacik berdasarkan kategori suara yang dihasilkan. Yakni, talempong jantan, talempong batino (betina), dan talempong pengawin.
Menurut website Warisan Budaya Takbenda Nasional, talempong jantan bertugas menggabungkan nada paling rendah dan paling tinggi untuk menciptakan sebuah nada utuh. Begitu pun halnya talempong betina, yang memainkan nada berubah-ubah bergantung kebutuhan tangga lagu saat dimainkan, misalnya nada kedua dan nada empat atau nada tiga dengan nada lima.
Talempong pengawin atau disebut juga paningkah adalah sebagai penyambung atau pengait dari nada talempong jantan dan talempong betina. Melodi talempong paningkah ini harus mampu menyambungkan harmonisasi nada yang dihasilkan talempong jantan kepada talempong betina atau sebaliknya. Itulah yang disebut sebagai interlocking atau saling meningkahi agar nada yang dimainkan tidak bertabrakan.
Talempong seperti ini kerap disertakan ketika ada arak-arakan atau mengiringi penyambutan tamu adat dan para pemainnya juga ikut berjalan di dalam arak-arakan itu sambil menjepit talempong di jari mereka. Para pemain talempong ini acap larut dalam dinamisnya harmonisasi nada yang dihasilkan dan raut wajah mereka lebih banyak ceria.
Uniknya, satu buah alat talempong beratnya bisa mencapai 1 kilogram. Padahal, alat itu selalu mereka jepit di tangan selama pertunjukan yang berlangsung dalam durasi paling sedikit 10 menit. Umumnya pemain talempong pacik sudah berumur di atas 40 tahun. Seni ini relatif jarang diminati anak muda karena cara memainkannya yang terbilang tidak biasa.
Talempong Modern
Sedangkan teknik modern cenderung lebih meringankan tugas si pemainnya karena talempong sudah tidak perlu lagi dipacik. Sebab, talempong sudah ditempatkan pada sebuah wadah kayu persegi panjang yang di dalamnya terdapat bilik-bilik khusus yang dinamai rancakan sebagai rel atau rea. Fungsinya sebagai dudukan 8–20 unit talempong yang disusun berjajar dua baris dan diurutkan berdasarkan alur tinggi-rendah nada pentatonik yang akan dimainkan.
Supaya talempong-talempong ini tetap kokoh pada dudukan rancakan atau tidak terjatuh dari wadah, maka diberi penguat berupa tali atau kawat baja yang diikatkan pada tiap talempong dan disambungkan ke dinding bilik atau wadah kayu. Menurut Asri MK, Dosen Seni Karawitan Institut Seni Indonesia Padang Panjang, dalam Pembelajaran Musik Talempong Unggan Berbasis Literatur, bermain talempong jenis ini memudahkan para pemainnya.
Asri menilai, si pemain akan lebih mudah menggerakkan tangan untuk memukul tiap talempong yang tersusun dalam rancakan kendati saat memainkannya, tangan harus bersiaga bersama alat pemukul dengan jarak sekitar 10 cm di atas pencu. “Kedua tangan dapat bergerak dinamis memainkan melodi nada-nada yang muncul dari pukulan talempong. Kelenturan lengan dalam memukul talempong menjadi kata kunci. Karena tempo talempong jenis ini dua kali lebih cepat dari talempong jenis lain,” ujarnya.
Talempong seperti ini dikenal juga sebagai talempong unggan, diambil dari nama sebuah jorong di Kecamatan Sumpur Kudus, Kabupaten Sijunjung, dan biasanya dimainkan sambil duduk. Anak-anak muda Minang sudah banyak yang bisa memainkan talempong jenis ini dan di sejumlah daerah dijadikan kegiatan ekstrakurikuler di sekolah-sekolah. Kita dapat menjumpainya saat acara-acara seperti pesta pernikahan (baralek gadang), pertunjukan silat, atau ketika mengiringi Tari Gelombang.
Komposer muda Sumbar bernama Agung Perdana, dalam sebuah diskusi mengenai pelestarian budaya Minangkabau yang diadakan di Padang beberapa waktu lalu, mengungkapkan bahwa talempong dapat dikawinkan permainannya bersama berbagai jenis musik lainnya, seperti jazz, pop, blues, atau bahkan rock sekalipun. Ia telah membuktikannya dengan tampil di 12 negara dan melakukan jam session dengan grup musik setempat dalam berbagai warna musik.
(***)