Kain tenun dapat mengangkat motif dan jenis itu sebagai simbol kecintaan terhadap hutan dan alam.
Jangkarpena.com Kerajinan tenun yang merupakan kerajinan tangan menjadi salah satu kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia. Meski kerajinan tenun bukan berasal dari kebudayaan asli Indonesia, kerajinan itu kini sudah menjadi kebudayaan yang dimiliki hampir di seluruh daerah di Indonesia.
Dalam konteks Indonesia sendiri, kepandaian bertenun sudah dikenal sejak berabad lamanya, sebelum masehi. Sebelum ada kebudayaan bertenun, masyarakat telah mengenal terlebih dahulu proses pembuatan anyaman dari daun atau serat kayu.
Keterampilan ini menuntun mereka untuk mempelajari kerajinan tenun. Seiring berjalannya waktu, pengetahuan bertenun diterima dan berkembang di Indonesia.
Perkembangan keterampilan tenun di pelbagai daerah ini mengarah pada peningkatan mutu, keindahan tata warna, serta motif hiasan. Sehingga, mampu memperkaya ragam dan jenis dari unsur budaya masing-masing daerah.
Dahulu, motif-motif kain tenun dikaitkan dengan aspek keagamaan dan upacara adat, seperti ritual kelahiran, perkawinan, dan kematian. Dalam perkembangannya, kain tenun tidak hanya digunakan sebagai busana atau pelengkap upacara adat, melainkan juga digunakan untuk interior.
Demikian pula dengan tenun Badui. Kini para perempuan Badui, terutama perempuan di masyarakat Badui luar, menenun jadi upaya untuk membantu pendapatan ekonomi keluarga. Di mana pria Badui, rata-rata bekerja di sektor pertanian ladang.
Aktivitas menenun serupa itu bisa disaksikan di Kampung Kadu Ketug, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten. Di sana, menenun tak hanya dilakukan perempuan tua. Remaja pun acap berkegiatan menenun.
Di pagi itu, di akhir pekan di pertengahan Juli 2023, terlihat puluhan remaja putri hingga dewasa menenun di amben rumah yang terbuat dari bambu dan kayu serta atap rumbia. Mereka tekun menenun dari pagi sampai sore. Kesibukan menenun itu terlihat di Kampung Kadu Ketug, Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, yang merupakan permukiman masyarakat adat Badui.
Tangan-tangan perajin tenun itu cukup terampil melilitkan benang dengan alat manual yang digerakkan oleh tangan dan kaki. Selembar demi selembar kain tenun itu rampung setelah tiga hari dikerjakan dengan ukuran panjang 2,5 meter dan lebar 2 meter.
Selama ini, menenun di permukiman kampung adat itu memang menjadikan andalan ekonomi masyarakat Badui. Adapun harga kain tenun dijual bervariasi, tergantung jenis dan motif, mulai Rp150.000 hingga Rp700.000 per lembar.
Para perempuan Badui menenun turut membantu suami mencari penghasilan untuk keluarga, yang rata-rata bekerja di sektor pertanian ladang. Seperti diakui Neng (45), perajin di Kampung Kadu Ketug, Desa Kanekes, Kabupaten Lebak, dirinya bisa menyelesaikan tiga potong kain tenun dengan pendapatan mencapai Rp3 juta per pekan.
Tenun itu dijual sendiri melalui jejaring sosial di media sosial hingga lokapasar (marketplace) yang pembelinya dari berbagai daerah di tanah air. Para perajin juga menjual karyanya di bale-bale rumah mereka sendiri dengan mengandalkan pembeli dari kalangan wisatawan yang mengunjungi permukiman Badui.
Kebanyakan pembeli produksi kerajinan tenun itu para wisatawan yang datang ke kampung itu, termasuk wisatawan mancanegara. Neng mengaku selama tiga pekan terakhir ini kewalahan melayani permintaan wisatawan bersamaan dengan datangnya masa liburan sekolah.
Munah (45), perajin lainnya, mengaku dirinya kerap menjual produk tenun kepada penampung setempat. Apalagi, belakangan ini banyak wisatawan ke kawasan Badui, terutama pada akhir pekan.
Dia mengaku bisa menyelesaikan enam potong per pekan dengan penghasilan mencapai Rp2,5 juta per pekan. Munah menenun bersama anaknya. Ia sudah menjalani usaha kerajinan itu selama 12 tahun dan hasilnya membantu pendapatan keluarga.
Sebagai catatan, masyarakat Badui dilarang memiliki rumah permanen, perabotan rumah tangga, dan kendaraan sehingga sisa pendapatan bisa untuk membeli perhiasan. Pengembangan kebudayaan termasuk lebih memberdayakan lagi masyarakat adat, seperti masyarakat Badui tentu patut didukung, terutama pemerintah.
Keunggulan kain tenun Badui itu banyak corak warna dan motif, di antaranya poleng hideung, poleng paul, mursadam, pepetikan, kacang herang, maghrib, capit hurang, susuatan, suat songket, dan semata (girid manggu, kembang gedang, kembang saka),” kata Kepala Bidang UMKM Dinas Koperasi dan UKM Kabupaten Lebak Abdul Waseh.
Selain itu juga ada motif adu mancung serta motif aros, yang terdiri atas aros awi gede, kembang saka, kembang cikur, dan aros anggeus. “Dalam rangka lebih mengenalkan produk kerajinan tenun Badui, kami gencar mempromosikan produk UMKM masyarakat adat Badui melalui pameran-pameran, baik yang dilaksanakan oleh pemerintah setempat maupun Provinsi Banten,” ujar Abdul Waseh.
Tak dipungkiri, kain tenun Badui terbilang unik karena hasil produk itu merupakan wujud kearifan lokal masyarakat Badui. Dengan menenun, anak perempuan di Badui berupaya melestarikan aturan adat yang mereka dapatkan secara turun-temurun.
Selain itu, melalui keterampilan menenun dengan varian motifnya, itu juga bagian untuk tetap memelihara dan melestarikan filosofi adat masyarakat Badui yang berpegang teguh menjaga alam di Kawasan Gunung Kendeng.
“Kain tenun dapat mengangkat motif dan jenis itu sebagai simbol kecintaan terhadap hutan dan alam,” ujarnya.(***)