Halal Bihalal Tardisi Kumpul Menyatukan Ragam Perbedaan

Halal Bihalal Tardisi Kumpul Menyatukan Ragam Perbedaan

Spread the love

Jakarta,jangkarpena.com Bertempat di aula ke-uskupan Katedral Jakarta Pusat, Sabtu 4/5/24, para tokoh agama yang tergabung dalam forum Indonesia Damai (FID) menggelar Halal bihalal sekaligus tindak lanjut pertemuan rutin dari para tokoh agama yang terbentuk sejak jelang Pemilihan presiden 2024 yang lalu.

Tampak hadir dalam halal bihalal tersebut diantaranya Sohibul hajat, Kardinal Ignatius Suharyo, Pemimpin Spiritual Nusantara Sri Eko Sriyanto Galgendu, Romo Antonius Suyadi, dari Komisi HAAK KAJ, Pendeta Gomar Gultom Ketua Umum PGI, Budi S. Tanuwibowo, Ketua Matakin, Engkus Ruswana Ketua MLKI, Wisnu Bawa Tenaya PH. PHDI, Drs.Piandi Ketua Permabudhi, Azisoko FPID.

Romo Ignatius Suharyo saat didaulat memberikan sambutan sebagai tuan rumah mengatakan bahwa FID pertama kali dilaksanakan di tempat ini, dan hingga pertemuan hari ini sudah berlangsung tujuh kali, dan pertemuan kali ini dalam rangka syawalan atau halal bihalal.

Romo Suharyo dengan suara khasnya yang lembut juga menyampaikan bahwa KWI tahun 2024 ini memasuki usianya yang ke 100 tahun. Romo Suharyo mengingat kembali kehadiran KWI di era Orde Baru, bagaimana situasi politik ketika itu.

Pemilu hanya sekedarnya saja, padahal hasilnyapun sudah diketahui. Terkait persoalan tersebut, KWI membuat analisa sosial hampir diseluruh kehidupan dan kemudian mengeluarkan pernyataan sikap bahwa tidak memilih tidak berdosa.

Kemudian lahirlah era Reformasi 1997-1998, KWI melihat akan adanya perubahan kondisi bangsa. Namun, tak bisa dipungkiri saat ini justru masalah korupsi begitu parah dan sangat mengkuatirkan, belum lagi masalah penghargaan akan harkat manusia masih marak terjadi ini terlihat masih banyaknya perdagangan manusia.

Untuk itu lanjut Romo Suharyo dalam usia 100 tahun ini KWI akan kembali mengeluarkan analisa sosial dengan meminta pertimbangan para ahli dari berbagai bidang.

“Kompas menerbitkan analisis dan hukum serta Isi catatan catatan hukum ini sangat menarik, seperti kasus Sambo kalau ngga ditulis wartawan tidak akan terbongkar”, tandasnya.

Tentang korupsi juga disuarakan pimpinan Hindu Wisnu Bawa Tenaya Ketua umum PHDI, korupsi dan oligarki merusak bangsa. Namu, Wisnu meminta agar tetap mendoakan pemimpin baru agar bisa menjalankan tugasnya dengan baik sesuai dengan janji yang disampaikan.

Sementara Kyai Marsudi Syuhud perwakilan dari MUI yang sekaligus sebagai tokoh Islam mencoba memaparkan asal muasal istilah Halal Bihalal yang hanya ada di Indonesia tidak ada di negara manapun. Lebih lanjut Pak Kyai ini menjelaskan bahwa Halal Bihalal atau halal halalan ini muncul saat Presiden Soelkarno waktu itu. Di mana kondisi negara sedang tidak baik-baik saja.
Berangkat dari kondisi bangsa yang bisa dikatakan runyam tersebut lalu Soekarno memanggil Kyai Wahab Abdullah yang intinya meminta bagaimana menyatukan berbagai pandangan dan kelompok di bangsa ini agar tetap menyatu.

Maka, Kyai Wahab mencetuskan istlah halal halalan yang diambil dari akar budaya bangsa yang suka kumpul, maka dikumpulkan semua stoke holder ketika itu di istana presiden pada tahun 1948, dan itu sebagai tonggak pertama halal bihalal yang intinya tempat atau moment menyatukan berbagai pendapat tetapi tetap satu.

Budaya kumpul ini akhirnya terus berlanjut menjadi organisasi seperti MUI sendiri mewadahi 87 organisasi, namun bisa menyatu sekalipun ada perbedaan. Karena sewaktu kumpul inilah segala persoalan dibicarakan bersama, malah dengan halal halalan baik organisasi, umat dan individu menjadi plong.

Menariknya lanjut Kyai Marsudi dengan budaya kumpul inilah sekalipun negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam tetap rukun dan ini dikagumi banyak bangsa. Menutup sambutannya Kyai Marsudi sebagai umat Islam jika ada kekurangan mohon dimaafkan. Tentang budaya Kumpul ini Engkus Ruswana dari MLKI juga menegaskan bahwa budaya kumpul itulah yang menjadi tradisi bangsa, sehingga semua persoalan bisa diselesaikan. Orang kita bisa menerima budaya apa saja termasku agama yang berkembang, karena semua yang masuk di negeri ini diharmonikan.

Sedangkan Pendeta Gomar Gultom ketua umum PGI perwakilan Umat Kristen mengatakan Selayaknya kita bersyukur bahwa kita melewati Pemilu dengan lancar dan damai. Pastilah hasil pemilu ini tidak bisa memuaskan semua pihak, termasuk kita yang berkumpul hari ini. Ada begitu banyak kekecewaan, ada begitu banyak kemarahan, oleh tingkah ulah para penguasa maupun para kontestan pada pemilu lalu. Tapi bagaimana pun, kita harus terima hasilnya. Rakyat sudah menentukan pilihan, terlebih MK sudah mengambil keputusan. Maka saatnya kita kini mendukung pemerintahan ke depan. Walau ini bisa dianggap “dosa mereka” tapi akibat atau hasilnya haruslah kita pikul bersama ke depan.

Mungkin yang perlu kita pikirkan ke depan adalah bagaimana mendorong adanya penyeimbang di parlemen. Diprediksi tinggal PDIP dan PKS yang kemungkinan jadi penyeimbang di parlemen. Itu pun kekuatannya hanya sekitar 28%. Walau kecil, masih lebih baik daripada tidak ada sama sekali. Tinggak soal bagaimana mereka mengelola teknik negosiasi mereka berdasar kesetiaan pada konstitusi dan regulasi yang berlaku dan rasa tanggung-jawab atas kemaslahatan rakyat banyak.

Oleh karenanya rasanya perlu dipikirkan insentif yang diberikan kepada mereka, agar tetap setia sebagai penyeimbang, paling tidak berupa insentif elektoral, baik dalam Pilkada Nopember nanti maupun Pemilu 2029 yang akan datang. Di sini peran kita untuk mendorong umat memberi insentif itu.

“Saya juga baru baca sebuah tulisan di Kompas hari ini, yang tiba pada kesimpulan: partai yang bergabung dengan koalisi pemerintah paska pemilu, pada anjlok pada pemilu berikut. Ini hasil penelitiannya atas Jerman dan Denmark. Tentu ada perbedaan suasana di kedua negara tersebut dengan di Indonesia, karena di kita, partai-partai sulit dibedakan satu sama lain kalau dari basis ideologisnya”, ujar Gomar.

Apapun itu, kita tidak bisa sepenuhnya meletakkan posisi penyeimbang ini hanya di parlemen. Menyitir Chales de Gaulle tentang peran tentara dalam perang, barangkali tak terlalu salah kalau saya katakan, pembangunan politik, terutama proses demokratisasi, di negara ini terlalu berharga jika hanya diserahkan kepada para politisi.

Perlu juga peran para tokoh agama untuk tetap menjadi penyampai nurani rakyat. Meminjam istilah Rendra, para tokoh agama bisa menjadi penyeimbang dengan berumah di atas angin. Saya bangga, bahwa sejak pertemuan pertama hingga yang ketujuh hari ini, semua yang terlibat dalam forum ini tak seorang pun yang berumah di kraton. Sepemahaman saya tak seorang pun di antara kita yang memiliki kepentingan politik selama pemilu lalu, tak ada di antara kita yang “dirapihkan” di dalam kraton.

Tetaplah kritis dalam menyambut pemerintahaan baru nanti, sebagai wujud kecintaan kita atas bangsa Indonesia.

Seruan bahwa FID harus berperan kritis sebagai kekuatan peyeimbang terhadap pemerintah baru Prabowo-Gibran ini datang juga dari pimpinan Matakin Budi S. Tanuwibowo, kita harus terus bersuara sekalipun sayup-sayup sekalipun mungiin tak terdengar, namun jika suara ini tetap konsisten akan terasa juga.

Bagaimana tidak kondisi saat ini dirasa tidak baik baik saja, ada orang yang menyuarakan soal etika namun ketika ditilik lebih dalam orang tersebut juga tak beretika. Maka, agar terus bersuara tradisi pertemuan semacam ini hendaknya terus dilanjutkan. Karena bagaimanapun perlu penyeimbang terhadap pemerintahan yang ada.

Sri Eko Sriyanto Galgendu tokoh spiritual nusantara, pertemuan kali ini masuk pertemuan ke 7 artinya ada harapan dengan satu tujuan. Dalam bahasa bumi yang menjadi kekhasan Eko ini bahwa yang punya umat itu pemimpin agama.

Hematnya, saat ini Eko melihat bahwa yang terjadi pemimpin agama justru dipimpin politik, padahal yang punya umat pemimpin agama, istilahnya komisarisnya di mana tugasnya mengarahkan sehingga jika ada pemimpin politik yang pernah berjanji, maka pemimpin agama berhak menagih janji tersebut. Tokoh agama juga harus memberikan kerangka dan arah. Maka jelas moral dan etika itu menjadi tanggung jawab pemimpin agama bukan pemimpin politik.

Maka ketika saat ini terjadi puing-puing persoalan termasuk etika dan moral tokoh agama bertangguyng jawab untuk menata kembali, tandas Eko.

Sedangkan Piandi dari Permabudi, bahwa pertemuan ini tidak suatu kebetulan, sehingga jangan kuatir tinggal bagaimana menasehsti umat. Menurut Piandi Prabowo seorang negarawan dan yakin di bawah kepemiminannya Indonesia akan maju ke depan sehingga Indonesia emas akan tercapai. Karena sudah terbukti sekalipun dengan penduduk yang sekian juta namun negara tetap bisa aman.

(###)

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!