Mengenal Porang, Umbi Liar Diminati Pasar Luar

Spread the love

Jakarta, Jangkarpena.com  – Coba temui Idris Tampubolon. Lalu tanyalah kepadanya tentang tanaman Porang. Kontan ia akan bicara berbusa-busa tentang tanaman umbi gatal itu.

Pria kelahiran Kisaran, Sumatera Utara ini bisa menjelaskan A hingga Z tentang tanaman yang sedang naik daun ini. Hal ini terlihat saat dia menjadi salah satu pembicara dalam diskusi Porang di Jalan Balai Desa, Pasar 12 Patumbak, Kecamatan Patumbak, Deli Serdang, Sumatra Utara, awal April lalu.

“Saya sudah teliti itu di Sleman sampai 3 tahun dan pola itulah yang saya bawa ke Sumut ini. Dengan lahan 1 hektar, katakanlah modal Rp 360 juta, bisa hasilkan Rp 3 miliar keuntungan bersih di dalam dua musim (18 bulan),” katanya.

Ia lalu membuat kalkulasi. Untuk lahan 1 hektar, biaya pengolahan lahan sekitar Rp 72,6 juta, biaya pemupukan dan perawatan Rp 45,6 juta, biaya bibit dan upah tanaman Rp 163 juta, total biaya panen Rp 28 juta, dan total biaya tenaga kerja Rp 48 juta.

Pada musim pertama, hasilnya bisa mencapai Rp 300 juta. Musim kedua naik menjadi Rp 960 juta. Sementara hasil umbi basah dua musim Rp 2 miliar. Dalam 1 hektar bisa menghasilkan 208 ton umbi dan 3,5 ton katak.

“Bandingkan dengan sawit. Satu hektar porang, hasilnya lebih banyak dibanding 100 hektar sawit yang umurnya 20 tahun maksimal,” katanya.

Ya umbi liar yang dulu tak pernah digubris ini memang telah membawa cerita sukses kepada sejumlah penanamnya. Dengar misalnya cerita sukses dari mantan pemulung di Madiun. Namanya Paidi.

Pria gondrong 40 tahun awalnya berjualan tahu keliling di seputar desanya di Kabupaten Madiun, Jawa Timur. Menekuni usaha itu beberapa lama, ternyata tak membuahkan hasil. Ia pun lantas banting menjadi pemulung, berdagang barang bekas. Lagi-lagi, usaha ini juga bangkrut.

Dua kali gagal menjalankan usaha, Paidi disarankan oleh temannya agar mencoba peruntungan menjadi petani. Bercocok tanam porang. Pada 2010, ia menjajal saran sang teman ini. Tak disangka, tanaman yang semula tak terlalu populer inilah yang kemudian mengubah nasib Paidi.

Saat itu ia mencari bibit dari hutan di Kecamatan Saradan itu untuk ditanam di desanya, di Kecamatan Kare. Mengikuti kebiasaan menanam Porang yang sudah lazim, ia pun membudidayakan Porang di tempat teduh, di sela-sela tegakan. Ternyata hasilnya tak memuaskan.

Paidi tak menyerah. Ia berusaha menggali pengetahuan dari Internet mengenai kemungkinan lain untuk membudidayakan porang.

Paidi lalu mencoba menanamnya di hamparan terbuka, menyimpang dari kebiasaan. Hasilnya mengejutkan. Tanamannya bukan hanya tumbuh lebih subur, umbinya lebih besar, bahkan masa panennya pun jauh lebih cepat dibandingkan cara tanam di bawah teduhan. Paidi menyebut caranya membudidayakan porang ini “revolusi pola tanam baru”.

Dengan cara budidaya konvensional, 1 hektare lahan hanya bisa menghasilkan umbi porang antara 7 hingga 9 ton. Sementara, dengan revolusi pola tanam ala Paidi, 1 hektare bisa menghasilkan hingga 80 ton.

Jika memakai cara lama, porang baru bisa dipanen paling cepat setelah 3 tahun. Namun dengan memakai cara Paidi, porang sudah bisa dipanen hanya dalam waktu 6 bulan hingga 1,5 tahun.

Memakai cara penanaman intensif ala Paidi, lahan 1 hektare dapat ditanami 40.000 bibit porang. Dalam jangka 1,5 tahun, tiap tanaman akan menghasilkan umbi rata-rata seberat 2 kilogram. Jadi, total keseluruhan panennya adalah 80.000 kilogram atau 80 ton. Jika harga porang per kilogram Rp 10 ribu, berarti omzet per hektarenya mencapai Rp 800 juta.

Menurut Paidi, cara baru ini sangat dibutuhkan petani porang agar bisa mengejar permintaan pasar. Kebutuhan industri global atas porang saat ini sudah mencapai 200 ton per hari.

Tak hanya memelopori cara tanam baru, berkat ketekunannya memanfaatkan internet, Paidi juga berhasil menembus pasar luar negeri dan mendapatkan importir dari Tiongkok.

“Tidak mengerti bahasanya. Saya terjemahkan pakai Google,” kata Paidi.

Sejak berhasil membudidayakan dan memasarkan umbi gatal itu, nasib Paidi berubah total. Ia kini seorang miliarder. Paidi memanfaatkan hingga 10 hektare lahan untuk ditanami porang. Tak hanya bercocok tanam, Paidi juga menjadi pengepul porang dan mengibarkan bendera usahanya sendiri, PT Paidi Indo Porang, yang mempekerjakan puluhan karyawan.

Mengenal Umbi Porang

Porang atau amorphophallus muelleri adalah jenis tanaman umbi-umbian. Umbi porang bisa menyebabkan gatal jika terkena kulit, apalagi jika dikonsumsi tanpa tahu cara mengolahnya. Itulah sebabnya, sebagai penghasil umbi, porang kalah populer dibandingkan, misalnya, kentang, singkong, ubi, atau talas.

Sebelum tahun 70-an, masyarakat di Jawa tanaman umbi-umbian suweg atau dikenal dengan iles-iles. Umbinya berbentuk bulat dengan akar rambut di kulit luarnya. Sedangkan bunganya seperti bunga bangkai. Porang ini merupakan tanaman sejenis suweg. Yang membedakanya hanyalah pada umbinya. Umbi suweg berwarna agak kuning oranye, sementara umbi porang berwarna kuning. Untuk umbi iles-iles berwarna putih.

Umbi suweg banyak dikonsumsi dengan cara dikukus dan dimakan dengan parutan kelapa muda serta garam. Sementara porang dan iles-iles tak bisa dimakan karena jika hanya direbus saperti suweg, akan menimbulkan gatal di mulut.

Manfaat Porang

Meski kurang populer, nilai ekonomi porang ternyata jauh melampaui jenis-jenis umbi lainnya. Porang sangat diminati di pasar ekspor. Umbi porang sangat dibutuhkan oleh industri pengolahan pangan sebagai bahan baku shirataki, konnyaku, beras analog, dll.

Porang juga dibutuhkan oleh industri kosmetika, obat-obatan, bahkan industri dirgantara.

Kandungan glucomannan pada umbi porang, misalnya, adalah bahan baku pembuatan kapsul. Tepung porang pun dikenal memiliki indeks glikemik rendah sehingga bermanfaat menekan peningkatan kadar glukosa darah sekaligus mengurangi kadar kolesterol.

Selain itu, juga digunakan sebagai bahan campuran/tambahan pada berbagai produk kue, roti, es krim, permen, jeli, selai, dan bahan pengental pada produk sirup dan sari buah.

Glukomannan dimanfaatkan oleh industri kimia dan farmasi, antara lain, sebagai bahan pengisi dan pengikat tablet, bahan pelapis (coating dan edible film), bahan perekat (lem, cat tembok). Serta untuk pelapis kedap air, penguat tenunan dalam industri tekstil, media pertumbuhan mikrobia, dan bahan pembuatan kertas yang tipis, lemas, dan tahan air.

Apabila tanaman dipanen pada satu periode tumbuh, kadar glukomannan dalam ubi berkisar antara 35-39%. Kadar tersebut terus meningkat sejalan dengan umur panen yaitu 46-48%, dan 47-55% masing-masing pada dua dan tiga periode tumbuh.

Nilai Ekspor

Di Indonesia sudah ada beberapa sentra pengolahan tepung porang yakni di Pasuruan, Madiun, Wonogiri, Bandung, serta Maros. Penjualan porang ke pasar ekspor selalu mengalami kenaikan sejak tahun 2016 hingga 2019.

Mengutip situs pertanian.go.id, tanaman porang memiliki nilai strategis untuk dikembangkan, karena punya peluang yang cukup besar untuk diekspor. Catatan Badan Karantina Pertanian menyebutkan, ekspor porang pada 2018 tercatat sebanyak 254 ton, dengan nilai ekspor yang mencapai Rp11,31 miliar ke negara Jepang, Tiongkok, Vietnam, Australia, dan lain sebagainya.

Sementara itu Berdasarkan data Indonesia Quarantine Full Automation System (IQFAST)/Badan Karantina Pertanian (Barantan), pada semester pertama tahun 2021, ekspor komoditas porang Indonesia sudah mencapai angka 14,8 ribu ton.

Angka ini telah melampaui jumlah ekspor semester pertama pada 2019 dengan jumlah 5,7 ribu ton. Jumlah ekspor komoditas porang pada semester pertama 2021 mengalami peningkatan sebesar 160 persen dibandingkan semester pertama 2019. Adapun tujuan utama ekspor komoditas porang adalah Tiongkok, Vietnam, Thailand, hingga Jepang.

Bibit porang biasa digunakan dari pembelahan umbi batang maupun umbinya yang telah memiliki titik tumbuh atau umbi katak (bubil) yang ditanam secara langsung. Musim panen porang awal antara Maret sampai April, panen paripurna di Juli sampai Agustus. Pada panen Maret-April, porang cenderung dihargai paling rendah karena kadar airnya masih tinggi. Sedangkan, harga tertinggi ada di panen keduanya. Yakni, antara bulan Juli-Agustus. Contoh harga porang pada 2020, untuk panen pertama sekitar Rp11 ribu. Sedangkan dari panen keduanya bisa harganya bisa mencapai Rp 13.000-Rp 15.000 per kg.

Porang yang laku untuk pabrik biasanya di atas berat 0,5 kg. Harga bibit umbi mini juga cukup menjanjikan. Umbi mini dengan isi dua sampai 60 biji per kilogram harganya bisa mencapai Rp 100 ribu per kilogram. Sedangkan untuk harga katak yang satu kilogram isi 200 sampai 250 butir harganya di kisaran Rp 300.000 sampai Rp 350.000/kg. (***)

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!