ORMAS ISLAM DIHARAPKAN BERANI MELEPASKAN BELENGGU TOLERANSI DENGAN AGAMA LAIN

ORMAS ISLAM DIHARAPKAN BERANI MELEPASKAN BELENGGU TOLERANSI DENGAN AGAMA LAIN

Spread the love

JP NEWS – Polemik pengucapan boleh tidak ucapan selamat natal dari kalangan islam terkesan bertele-tele, tokoh organisasi masyarakat Islam Muhammadiyah, almarhum Syafii Maarif, pernah mengatakan bahwa ucapan “Selamat Natal” yang dinyatakan oleh umat Islam kepada umat Nasrani tidak perlu dipermasalahkan. Di sisi lain, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah meminta masyarakat agar menjadikan nilai-nilai agama, baik dari agama manapun, agar menjadi sumber integrasi nasional dan integrasi sosial. Haedar Nashir berharap perayaan Natal dan Tahun Baru dijadikan momentum untuk mempererat dan mengikatkan kembali benang kebangsaan.

Senada dengan itu, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf mengucapkan selamat Natal bagi umat Kristiani. “Selamat merayakan Natal tahun 2021 bagi umat kristiani,” demikian disampaikannya pada acara natal tahun lalu. Tak mau ketinggalan, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang dakwah, Cholil Nafis pun secara pribadi menegaskan bahwa umat Islam boleh mengucapkan Selamat Natal bagi kalangan umat Kristiani yang merayakannya. “Saya sendiri berkesimpulan bahwa hukumnya boleh mengucapkan selamat natal”. Demikian ungkapannya pada sesi acara natal tahun 2021 lalu tersebut. Tentu saja hal ini bisa saja menjadi pijakan umat islam di seluruh Indonesia

Lalu dimana masalahnya ketika terjadi sumbatan atas terhadap pengucapan selamat natal yang dianggap sebagian penganutnya yang mempengaruhi keimanan umatnya. Apalagi merespon pada beberapa kejadian atas pelarangan pendirian rumah ibadah bagi umat kristiani diberbagai daerah. Apakah para ketua umum yang terhormat itu tidak meneruskan himbauannya kepada jajaran di tingkat bawah yang pada akhirnya berlaku di berbagai daerah. sehingga masyarakat tidak perlu mengambil kesan bahwa apa yang disampaikan mereka tidak hanya sebagai preseden lips services semata, atau para pengikutnya yang mengabaikan berbagai kebijakan organisasi dalam merespon pentingnya sikap bertoleransi tersebut.

Setiap kebijakan dalam suatu pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemimpinnya, termasuk oleh para ketua umum organisasi apapun akan berdampak pada pertanggungjawaban khusus kepada Tuhan yang Maha Kuasa. Dibalik setiap kebijakan itu, tentu membutuhkan keberanian dan pertimbangan dalam memutuskannya. Apalagi setiap keputusan itu tentu akan memiliki konsekuensi pahala dan dosa dari apa yang di sikapinya. Termasuk diam dan tidak berbuat sesuatu apapun memiliki kadar kebaikan dan keburukan pula. Sehingga penegasan dan pendisiplinan organisasi merupakan tanggung jawab penuh dari seorang pemimpin untuk menciptakan dampak kebaikan bagi seluruh anggota yang dipimpinnya.

Jika para pemimpin agama itu begitu ragu dalam menetapkan posisinya terhadap situasi pertentangan antar agama belakangan ini, bagaimana mungkin pemerintah lebih berani mengambil sikap terhadap persoalan agama dibalik para pemangku kepentingan di sektor ini yang terkesan gamang dan mengambang. Padahal disisi lain, justru tak jarang pemerintah bersandar pada ke tiga organisasi besar tersebut dalam menyikapi berbagai isu yang berkembang. Sekalipun pemerintah memiliki kementrian Agama sebagai penguasa di sektor ini. Masyarakat justru lebih mengapresiasi atas keberanian Buya Hamka yang mengeluarkan fatwa tentang perayaan natal bersama, melalui Majelis Ulama Indonesia yang pernah diketuainya pada tahun 1981.

Meski banyak klarifikasi tentang hal itu yang merujuk pada pengertian untuk membentengi akidah umat, sebab Komisi Fatwa MUI pada 7 Maret 1981 mengeluarkan fatwa Perayaan Natal Bersama tentang haramnya bagi umat Islam untuk melaksanakan dan mengikuti perayaan natal karena termasuk dalam perkara syubhat. Namun kebijakan MUI kala dipimpin Buya Hamka layak dianggap sebagai pemimpin yang berani dalam mengambil keputusan. Klarifikasi pun datang melalui Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia tahun 2014, Din Syamsuddin yang mengatakan bahwa fatwa yang pernah dikeluarkan MUI kala itu, soal Natal tersebut tidak spesifik melarang umat Islam mengucapkan selamat Natal kepada umat kristiani.

Sungguh terlalu banyak yang harus dikemukakan serta menulisnya dalam berbagai hal tentang kedudukan rakyat terhadap penyelenggara negara, termasuk pada dinamika horizontal antar agama yang tak kunjung mendapatkan kejelasan hingga berpuluh-puluh tahun lamanya. Namun ketahuilah bahwa masyarakat pun jenuh pada deadlocknya komunikasi pada persoalan ini, dibalik terseraknya persoalan masa lampau dan timbulnya masalah-masalah baru yang ikut menciptakan nuansa hingar-bingar disekitar kita. Mau tidak mau, penulis tetap saja harus menyampaikan pandangan ini secara terbuka, bahwa Toleransi bukan sikap pengekangan dari cara beragama tertentu yang terkooptasi oleh aturan dan penerapan dari kalangan tertentu.

Sebab makna toleransi itu lebih bersifat inklusif untuk memberikan pengertian kepada seluruh warga negara tentang hak-hak penggunaan otoritas ruang publik yang semestinya mereka peroleh sebagai wilayah komunitas sosial bagi semua penduduk tanpa melihat identitas yang melekat pada diri mereka. Hal ini harus dipahami secara clear agar tidak ada pihak yang mengklaim bahwa sikap Toleransi itu akibat dari pelepasan atau kelonggaran dari tekanan kelompok pihak tertentu. Oleh karenaya, para pemangku kepentingan harus melihat dampak serta sejauh penerapan sikap bertoleransi ini berlaku nyata ditengah masyarakat saat ini, yang tentunya membutuhkan edukasi dan pencerahan mengenai kedudukan itu untuk diungkapkan secara terbuka.

Jangan pula malah didapati bahwa sikap bertoleransi itu menjadi kepalsuan dan dilakukan hanya dengan cara sembunyi-sembunyi untuk menahan anggapan publik atas pengangkangan berlakunya otorisasi dari agama tertentu. Sehingga ada pihak yang memerankan dirinya sebagai subjek kewenangan atas penerapan toleransi tersebut. Artinya jika mereka mau maka bertoleransi itu dapat diberlakukan, dan ketika mereka tidak menyetujui maka sikap toleransi itu pun akan dikubur secara dalam. Entah dari mana legitimasi negara tersebut mereka dapatkan. Padahal, fakta atas negara-negara islam didunia pun tidak menemukan persoalan yang sama dari cara mereka menerapkan sikap bertoleransi ini yang berlaku di negaranya.

Selamat hari Natal 2022 dan Selamat menyongsong Tahun Baru 2023. Semoga tulisan ini bermanfaat. #jkwguard #Andisalim #Toleransiindonesia #TI Mari Bertoleransi, silahkan share🙏
https://www.facebook.com/groups/402622497916418/?ref=share

Penulis : Andi Salim

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!