Magelang – Jangkarpena.com Bagi warga masyarakat Dusun Gejayan Desa Banyusidi dan Dusun Keditan Desa Pogalan Kecamatan Pakis Kabupaten Magelang, petilasan Pertapaan Telompak merupakan pepundhen yang sampai kini masih dilestarikan. Tempat yang terletak di sebuah lembah sungai lereng barat Gunung Merbabu ini pada masa lalu merupakan pertapaan Kyai Singobarong yang berasal dari Kerajaan Kediri.
Ketika bertapa di sini dia didampingi Rara Geni, garwa selir Prabu Brawijaya V. Siapa sebenarnya Kyai Singobarong tersebut, sampai sekarang warga dusun setempat tak ada yang tahu pasti, karena tidak ada catatan sejarah. Semua ceritera itu hanya berdasarkan tutur tinular dari nenek moyang mereka.
Tradisi Lebaran warga kedua dusun di desa-desa tersebut, setiap 5 Syawal menggelar acara ritual tradisional Sungkem Telompak. Tahun ini ritual tersebut diselenggarakan pada Senin Pahing (15/4/2024) karena 5 Syawal 1957 Jimawal menurut perhitungan mereka yang berdasarkan kalender Jawa Aboge, jatuh pada hari tersebut.
Prosesi ritual diawali dari halaman padepokan Pendawa Lima menuju petilasan Pertapaan Telompak sejauh lebih kurang satu kilometer dengan mengusung ubarampe tumpeng sesaji. Arak-arakan ini diikuti kelompok kesenian Jathilan dari dusun Keditan.
Oleh warga setempat petilasan Pertapaan Telompak ini dipercaya sebagai Keraton Lelembut dan menjadi tempat mujarab untuk memohon berkah dan berbagai permohonan. Misalnya, permohonan agar anaknya pandai dalam bersekolah atau menjadi anak saleh, agar lancar dalam mencari rejeki, atau pun agar selalu mendapat kebahagiaan, kemuliaan, kesehatan dan sebagainya. Konon, permohonan mereka banyak yang terkabul. Namun, tempat ini bukanlah tempat untuk mencari kekayaan
Ritual Sungkem Telompak digelar di petilasan pertapaan leluhur mereka. Ritual ini dipimpin oleh Alip, tokoh masyarakat Gejayan yang juga sebagai juru kunci petilasan ini, didampingi sesepuh dusun Keditan, Sujak, dan kepala dusun Gejayan, Sulis.
Dua ancak ubarampe sesaji diletakkan di dekat mata air Telompak. Ritual diawali dengan membakar kemenyan dan diakhiri dengan pembacaan doa. Usai ritual para peserta ritual berebut sesaji dan antri mengambil “air berkah†di beberapa mata air di sini. Meski hanya sebentar, kelompok kesenian Jathilan menggelar tarian di pelataran Telompak yang sempit.
Petilasan pertapaan Telompak terletak di sebuah dasar jurang pinggiran dusun. Pada masa lalu, di sini ada tujuh buah sendang. Air dari mata air Telompak ini dipercaya warga setempat sebagai “air barokahâ€. Sehingga banyak orang yang mengambilnya untuk berbagai keperluan. Karena perubahan lingkungan alam akibat semakin berkurangnya kawasan hutan di lereng gunung Merbabu, kini sendang-sendang itu telah tiada dan tinggal mata air-mata air yang debitnya sangat kecil. Meski pada musim kemarau air masih mengalir dari sela-sela bebatuan di lereng yang dialirkan dengan pipa dimasukkan ke gentong.
Petilasan Telompak oleh warga setempat sampai kini masih dianggap wingit. Salah seorang warga dusun Gejayan bernama Dahmin menuturkan, pernah terjadi keanehan di sini. Beberapa tahun yang lalu salah satu pohon bendha yang telah berusia ratusan tahun tumbang. Pohon ini tumbuh di lereng tebing petilasan Telompak. Anehnya, pohon yang tumbang itu kemudian batangnya patah di bagian tengah dan tonggaknya berdiri tegak lagi. Tonggak pohon benda yang garis tengahnya hampir dua meter tersebut sampai kini masih ada, dan tidak ada orang yang berani menebangnya.
Awal mula acara tradisi ritual Sungkem Telompak ini menurut Sujak, tokoh warga dusun Keditan, pada zaman dahulu sesepuh Dusun Keditan mempunyai sebuah permohonan kepada Kyai Singobarong, ketika desanya mengalami masa paceklik yang cukup lama karena hasil panen palawija dan tanaman sayur-sayuran di sini sangat berkurang.
Permohonannya itu dikabulkan, sehingga sebagai ungkapan rasa syukur dan terima kasih kepada leluhur dan pepundhen dusun Gejayan, setiap tahun warga dusun Keditan melaksanakan ritual sungkem ke petilasan pertapaan Telompak yang kini lebih dikenal sebagai acara Sungkem Telompak. Acara ritual ini merupakan tanda bekti warga dusun itu kepada leluhur yang dulu menghuni tempat ini. Acara sungkem di petilasan leluhur mereka kini menjadi tradisi yang telah dilakukan sejak ratusan tahun lalu. Acara ini juga diikuti kelompok kesenian rakyat tari prajuritan Jayadijaya Dusun Keditan.
Mengawali acara ritual ini, sesepuh Dusun Keditan, Sujak, mengatakan, dengan melaksanakan Sungkem Telompak masyarakat Dusun Keditan mengharapkan segala kesalahannya dimaafkan, mohon kekuatan, keteguhan, keselamatan, karahayon, dan terhindar dari segala godaan serta diberi kelancaran dalam mencari rezeki, berhasil dalam bertani dan lancar dalam berjualan.
Di samping itu mereka juga ngalap berkah dari para leluhur pepundhen Telompak, seperti Kyai Singobarong dan cikal bakal dusun Gejayan, Kyai Jayadipa atau Kyai Jaya. Rombongan warga dusun Keditan peserta Sungkem Telompak diterima kepala Dusun Gejayan, Sulis Prasetyo dan segenap warga dusun Gejayan.
Acara ritual tradisional ini bernuansa sinkretis, laku spiritualnya merupakan perpaduan keyakinan dari berbagai agama dan aliran kepercayaan. Dalam acara ini doa dipanjatkan secara agama Islam, tetapi juga menyediakan sesaji sesuai dengan kepercayaan Kejawen dan agama Hindu, namun juga tidak lupa membakar dupa seperti yang lazim dilakukan umat Buddha. Sehingga nuansa ritual ibadah dan laku budaya sangat terasa dalam ritual Sungkem Telompak ini.
Masyarakat Dusun Gejayan dapat menyelaraskan kehidupan beragama dan kehidupan berbudaya atau berkesenian. Di dusun ini ada masjid dan langgar untuk beribadah, ada sanggar dan padepokan seni untuk kegiatan berkesenian. Sebuah pendapa padepokan seni Warga Budaya yang cukup megah telah dibangun di dusun ini. Acara Sungkem Telompak dimeriahkan dengan pagelaran kesenian rakyat yang menampilkan berbagai kreasi seniman dusun ini. (red)