Lupa Pancasila

Spread the love

JANGKARPENA.COM PANCASILA itu konsensus nasional. Ia lahir dari rahim kesadaran sejarah anak bangsa akan tanah air yang majemuk.

Karena itu, Pancasila pun menjadi titik temu dari beragam keyakinan, ideologi, juga kepentingan. Cendekiawan Nurcholish Madjid membahasakan Pancasila sebagai titik temu dengan istilah ‘kalimatun sawa’.

Namun, kendati usia Republik ini sudah mendekati 76 tahun, perbincangan tentang Pancasila sebagai dasar negara ini tak kunjung beres. Di sana-sini, baik secara terbuka maupun diam -diam (yang ini lebih dominan).

Masih ada saja yang menggunjingkan bahkan mempersoalkan Pancasila

Padahal, tak kurang Tokoh sekaliber Barack Obama, yang Notebene pemimpin Amerika Serikat, mengakui keampuhan Pancasila sebagai penenun keragaman Indonesia. Saat masih jadi Presiden dan kunjungan ke Universitas Indonesia, Obama menyampaikan betapa beruntungnya Indonesia yang multikultural mempunyai Pancasila sebagai perekat kemajemukan.

Saya bangga dan sekaligus malu mendengar pengakuan itu muncul dari orang luar. Di dalam negeri sendiri Pancasila kerap diperlakukan sebagai ornamen sejarah. Ia ada, punya nyawa, tapi tak sepenuhnya hidup. Salah satu masalahnya ialah Pancasila tidak benar-benar serius diwariskan dari generasi ke generasi melalui jalan pendidikan.

Mata pelajaran Pancasila seperti menghadapi kesulitan untuk secara jelas dimasukkan kurikulum pendidikan kita. Otak sadar kita seperti belum sepenuhnya menerima Pancasila sebagai bagian paling penting dalam kehidupan kebangsaan kita.

Karena itu, saya tidak sepenuhnya kaget, cuma setengah kaget, saat Peraturan Pemerintah (PP) nomor 57 tahun 2021 tentang standar nasional pendidikan tidak dimasukkan Pancasila sebagai pelajaran dan mata kuliah wajib di baik sekolah maupun perguruan tinggi. PP yang diundangkan pada 31 Maret 2021 tersebut seperti menghapus Pancasila dari nomenklatur Pendidikan kita.

Mudah-mudahan itu kealpaan manusiawi semata. Namun, tetap saja mengganggu. Apa iya, untuk sebuah standar nasional pendidikan yang maha penting patut, mendiamkan kealpaan?

Dunia Pendidikan sangat berkepentingan dalam pengembangan karakter, etika, dan integritas pada anak didik. Sementara itu, Pancasila ialah nilai moral dan basis Pendidikan kewarganegaraan. Itu berarti Pancasila merupakan syarat mutlak bagi tumbuh kembangnya nilai-nilai karakter kebangsaan yang kuat, yang toleran, menghargai keragaman.

Terbitnya PP 57/2021 tentang standar nasional pendidikan telah menghilangkan Pancasila sebagai materi dan muatan wajib kurikulum mulai jenjang pendidikan dasar, pendidikan menengah, hingga pendidikan tinggi. Hal itu tertuang dalam pasal 40 ayat 2 dan 3 yang menyebutkan kurikulum pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi hanya wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, dan bahasa.

PP 57/2021 tidak memuat dan merujuk sama sekali UU nomor 12 tahun 2021 tentang pendidikan tinggi yang didalamnya memuat secara eksplisit pendidikan Pancasila.

PP tersebut hanya merujuk UU no. 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan Nasional yang memang tidak memuat secara khusus dan menyebut secara eksplisit tentang pendidikan Pancasila.

Saya mengapresiasi niat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim yang akan mengajukan revisi, PP 57/2021 tersebut. Mumpung hendak mengajukan revisi, saya sekaligus menitipkan agar Pendidikan Pancasila yang hendak dimasukkan ke peraturan tersebut merupakan pendidikan Pancasila yang terbuka. Jadi, bukan Pendidikan Pancasila ala orde baru yang indoktrinatif, tertutup, tanpa ada ruang dialog.

Pancasila yang diajarkan sebagai ideologi terbuka justru akan pas dengan semangat zaman, menyenangkan, dan dapat diterima secara lapang dada. Keprihatinan kita kepada makin tergerusnya nilai-nilai Pancasila tidak juga lantas membuat kita membabi buta menggeser pendulum ke era Pancasila yang kaku, tertutup, dan memonopoli tafsir dari rezim.

Kalau jalan terakhir yang ditempuh, Pancasila justru akan kehilangan ‘tuahnya’. Kita tak ingin orang alpa menjadikan Pancasila sebagai bagian integral dari Pendidikan, tetapi kita juga mesti menghindari, Pancasila dipaksakan sebagai penggebuk siapa saja yang berbeda suara.

P. Sirait.

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!