Menikmati ‘Lamang’ disaat Mudik Lebaran

Menikmati ‘Lamang’ disaat Mudik Lebaran

Spread the love

Jangkarpena.com – Pada 1956, Roland Barthes yang membaca karya Saussure: Cours de linguistique générale melihat adanya kemungkinan menerapkan semiotik ke bidang-bidang lain. Barthes mempunyai pandangan yang bertolak belakang dengan Saussure mengenai kedudukan linguistik sebagai bagian dari semiotik. Menurutnya, sebaliknya, semiotik merupakan bagian dari linguistik karena tanda-tanda dalam bidang lain tersebut dapat dipandang sebagai bahasa, yang mengungkapkan gagasan (artinya, bermakna). Ini merupakan unsur yang terbentuk dari penanda-petanda, dan terdapat di dalam sebuah struktur.

Kelitkelindan dari pembacaan Roland Barthes ini sejalan dengan ‘mudik’ di saat lebaran dengan makanan khas ‘Lamang’. Mudik sebagai penanda bulan Ramadhan akan berakhir dan syawal akan tiba. Petanda-nya bulan Syawal tiba lebaran dan makan Lamang di kampung halaman.

Tradisi ma-lamang merupakan suatu budaya yang diwariskan secara turun temurun dan berkembang di lingkungan masyarakat Minangkabau, khususnya masyarakat di Kabupaten Padang Pariaman (sebagian besar Sumatera).

Bila diperhatikan secara sekilas, ma-lamang terkesan hanya merupakan proses atau cara memasak lamang (lemang) dengan menggunakan media bambu yang kemudian di bakar di atas bara api. Padahal, tradisi ma-lamang tidak hanya soal kemahiran memasak lemang, namun tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai dan sejarah yang membuat tradisi ini bertahan di Sumatera Barat, khususnya Kabupaten Padang Pariaman.

Semarak tradisi ma-lamang, biasanya akan terasa pada peringatan hari-hari besar Islam, yakni menjelang bulan Ramadan, lebaran (Idul Fitri dan Idul Adha), peringatan Maulid Nabi, baralek (pesta pernikahan), peringatan hari kematian, dan sebagainya.

Mayoritas masyarakat di Padang Pariaman menyakini, sejarah tradisi Ma-Lamang tidak dapat dilepaskan dari peran dan perjuangan Syekh Burhanuddin untuk menyiarkan agama Islam di Minangkabau. Ma-lamang dapat dikatakan metode dakwah yang digunakan oleh Syekh Burhanuddin untuk mengajarkan perbedaan makanan halal dan haram dalam ajaran Islam kepada masyarakat di daerah Ulakan, Padang Pariaman. (baca : Refisrul, Jurnal Penelitian Sejarah dan Budaya, Vol. 3 : 2017).

Secara filosofis, tradisi ma-lamang juga menggambarkan nilai-nilai gotong royong dan semangat kebersamaan. Hal ini tergambar ketika saat ma-lamang hendak tiba, pada pagi hari, masyarakat yang terdiri dari laki-laki dewasa dan beberapa anak yang diajak membantu pergi mencari bambu dan kayu bakar untuk memasak lamang. Di rumah, para ibu-ibu dibantu oleh anak perempuan mereka di setiap rumah mulai memasak bahan-bahan untuk isian lamang. Setelah bambu dan kayu bakar sudah didapat, bahan-bahan tadi dimasukkan ke dalam bambu dan dibakar pada sore hingga malam harinya (red)

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!