Kisah Kejayaan Sumenep di Masjid Sokambang

Kisah Kejayaan Sumenep di Masjid Sokambang

Spread the love
Sumenep,Jangkarpena.com Masjid dibangun sendiri oleh Sultan Abdurahman Pakunantaningrat I yang menjabat sebagai adipati atau Raja Sumenep ke-32 era 1811 hingga 1854.

Bangunan luar Masjid Sokambang di Dusun Banosokon, Desa Kebunagung, Kecamatan Kota, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur ini terlihat menonjol lantaran letaknya lebih tinggi dari rumah warga sekitar. Sekilas, tak ada penanda bahwa masjid ini memiliki nilai sejarah bagi masyarakat Sumenep.

Yang tampak hanya campuran bangunan tua dan modern dengan menara kecil berjejer. Mungkin yang bisa dikaitkan dengan sejarah tadi karena letaknya sekitar 1 kilometer dari Astana Tinggi, kompleks makam raja-raja Kerajaan Sumenep. Letak masjid juga di belakang kantor Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Sumenep.

Memasuki ruang utama masjid, kita baru melihat sisa-sisa bangunan tua bersejarah yang masih berdiri kokoh. Juga tembok dari struktur bata besar dengan dua pintu berpengunci kayu sedikit usang yang menyimpan sejarah dari salah satu masjid tertua di Sumenep itu.

Konon, sebelum dijadikan masjid, bangunan itu dulunya merupakan tempat persinggahan sementara keluarga raja. Mereka beristirahat sejenak dan beribadah sebelum melanjutkan perjalanan menuju kompleks pemakaman Asta Tinggi.

Takmir masjid bernama Abdul Karim mengutarakan, suatu hari ada seorang saudagar dari Kota Makkah, Arab Saudi singgah dan berniat memugar total bangunan masjid agar lebih bagus. Namun, niat itu ditolak secara halus oleh pihak masjid.

“Saudagar dari Makkah itu akhirnya hanya diizinkan menambah beberapa bangunan di luar bangunan utama masjid sebagai bentuk perluasan,” katanya seperti dikutip Antara.

Abdul Karim menjelaskan Masjid Sokambang merupakan rumah ibadah umat Islam ketiga yang dibangun oleh kalangan kerajaan di Kabupaten Sumenep. Dua lainnya adalah Masjid Lajuh yang dibangun oleh Raja Sumenep ke-21 Kanjeng Pangeran Ario Anggadipa (1626-1644) dan Masjid Agung Sumenep yang dibangun pada masa Raja Sumenep ke-31 Panembahan Sumolo Asirudin (1779-1811).

Masjid Sokambang dibangun sendiri oleh Sultan Abdurahman Pakunantaningrat I yang menjabat sebagai adipati atau Raja Sumenep ke-32 era 1811 hingga 1854. Menurut cerita dan pitutur orang-orang tua Sumenep, masjid itu memendam banyak cerita mengenai raja-raja kesultanan Sumenep yang akan berziarah ke makam leluhurnya di Asta Tinggi.

Tokoh masyarakat setempat, Kiai Amiruddin seperti dikutip dari website resmi Pemerintah Kabupaten Sumenep menjelaskan bahwa dulunya sultan acap singgah ke masjid ini. , “Dulu bahkan ceritanya sultan juga sering ke masjid ini,” kata Kiai Amiruddin.

Masjid yang dibangun oleh putra Panembahan Sumolo itu dulu biasa digunakan untuk mempelajari kitab-kitab agama klasik. Ulama yang tercatat pernah mengajar antara lain Kiai Anjuk dan Kiai Bayanullah.

Di kalangan keluarga Keraton Sumenep ada cerita mengenai Raden Ario Abdul Ghani Atmowijoyo, salah satu bangsawan Sumenep, yang selalu menyempatkan berhenti di Masjid Sokambang untuk salat sebelum ziarah ke Asta Tinggi.

 

Saksi Kejayaan Madura

Pemerhati sosial, politik dan budaya kawasan Madura, Surokim Abdussalam, mengatakan Pulau Madura punya dua episentrum kebudayaan, Kabupaten Bangkalan dengan tokoh utama seperti Syaikhona Kholil di kawasan barat dan Kabupaten Sumenep dengan tokoh seperti Sultan Abdurahman Pakunantaningrat di bagian timur.

Surokim mengatakan masih banyak kekayaan budaya Madura yang belum terangkat ke publik. Itu disebabkan belum banyak orang yang mengetahui kazanah budayanya, termasuk keberadaan Masjid Sokambang dan peninggalan raja-raja Sumenep pada masa lampau.

Penulis buku Madura 2020 dan Madura 2030 itu menambahkan, literasi rinci mengenai Madura juga masih sedikit. Ini karena tidak banyak penulis dan ahli sejarah yang datang dan melakukan penelitian di wilayah berjuluk Pulau Garam ini. Padahal ada temuan benda bersejarah seperti nisan kuno dengan ukiran kalimat syahadat, salawat nabi dan tulisan beraksara Jawa kuno di sana.

“Untuk sisi timur, Sumenep memang dikenal memiliki kebudayaan yang tinggi dengan pola bahasa lebih halus dibanding daerah lain di Madura, hal ini bisa menjadi bukti tingginya kebudayaan di wilayah itu,” katanya.

Surokim yang juga dosen Komunikasi Politik, Media dan Opini Publik di Universitas Trunojo Madura itu menekankan pentingnya lebih banyak penelitian mengenai sejarah dan budaya Pulau Madura untuk mengungkap misteri yang masih terpendam mengenai masa lalu di daerah yang terpisah dari Pulau Jawa ini.(red)

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!