JAKARTA, – Gagasan Jaksa Agung ST Burhanuddin mengenai keadilan restoratif terus bergulir. Terakhir, ia kembali melontarkan pernyataan menarik, yakni korupsi di bawah Rp50 juta tidak harus diproses pidana tetapi cukup mengembalikan kerugian negara.
Pernyataan Jaksa Agung tersebut memicu diskusi publik. Beberapa pihak khawatir hal itu bisa menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat mengenai tindak pidana korupsi. Namun, setelah menyimak penjelasan Kejaksaan Agung, kekhawatiran itu tidak perlu terjadi.
Menurut Dr. Dwi Seno Wijanarko, SH, MH, CPCLE, ahli hukum pidana dari Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, pernyataan itu merupakan salah satu bentuk implementasi keadilan restoratif dan berhati nurani yang digagas oleh Jaksa Agung Burhanuddin.
“Saya menilai, imbauan Jaksa Agung itu bukan bentuk impunitas bagi pelaku tindak pidana korupsi dengan kerugian yang relatif kecil, tetapi bagaimana mencari solusi yang tepat dalam menengakkan keadilan di tingkat akar rumput dan memenuhi hakikat penegakan hukum itu sendiri yaitu pemulihan pada keadaan semula,” ujarnya, Senin (31/1/2022).
Dia mengutip contoh yang disampaikan Jaksa Agung, yakni bagaimana seorang Kepala Desa tanpa pelatihan tentang cara pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, tetapi harus mengelola dana desa senilai Rp1 miliar untuk pembangunan desanya dan melakukan kesalahan administrasi.
Apabila kasus-kasus maladministrasi seperti ini ditangani dengan menggunakan instrumen Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), tentu akan melukai keadilan masyarakat, sementara Kepala Desa tersebut tidak menikmati uang-uang itu.
Menurut Dwi Seno, Jaksa Agung juga mempertimbangkan biaya penanganan perkara tipikor yang bisa melebihi Rp50 juta dari kerugian negara yang ditimbulkan akibat kesalahan tersebut, mulai dari penyidikan hingga terdakwa dieksekusi di Lapas.
“Analisis cost and benefit penanganan perkara tipikor juga penting menjadi pertimbangan dalam rangka mencapai nilai keadilan masyarakat dan nilai kemanfaatan hukum, termasuk mempertimbangkan over capacity penjara yang selama ini menjadi momok bagi Lapas di Indonesia,” ujarnya.
Dwi Seno menilai pendekatan keadilan restoratif yang dijalankan Jaksa Agung Burhanuddin mampu memecahkan kebuntuan atau kekosongan hukum materil dan hukum formil yang saat ini masih mengedepankan aspek kepastian hukum dan legalitas-formal, daripada keadilan hukum yang lebih substansial bagi masyarakat.
Sementara itu, Direktur Solusi dan Advokasi Institut (SA Institut) Suparji Ahmad menilai wacana Jaksa Agung terkait penyelesaian perkara tipikor dengan kerugian keuangan negara kurang dari Rp50 juta, merupakan pergulatan pemikiran positivisme dan pemikiran realisme hukum, sebagai thesa dan anti thesa dalam dialektika Hegelian maupun Kantianisme.
“Jadi menurut hemat saya, biarkan wacana tersebut berkembang di tengah masyarakat sehingga menemukam sinthesanya atau pemecahannya,” ungkapnya. (Jangkarpena.com )