SERUAN PARKINDO: HARI LAHIR PANCASILA

SERUAN PARKINDO: HARI LAHIR PANCASILA

Spread the love

Suap janganlah kauterima, sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar.
Keluaran 23:8

Jakarta – jangkarpena.com Transaksional adalah identitas politik kita hari-hari ini. Segala perbedaan ideologi, agama, suku, dan ragam kepentingan membeku di hadapan kalkulasi cuan sebagai faktor penentu kompromi. Kini, politik kita sudah menganggap narasi menyejahterakan rakyat bak sebuah komedi. Fenomena kontemporer seolah menyimpulkan bahwa politik tak lebih hanya sekadar proyek. Titik!

Jika Bung Karno bangkit dari kuburnya, dia akan memaki-maki realitas politik kita saat ini. Pada 1 Juni 1945, Sukarno membacakan pidatonya Lahirnya Pancasila di hadapan Sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan). Sebelum menguraikan gagasannya tentang dasar-dasar negara, Sukarno banyak merujuk orasinya dari sebuah risalah yang ditulisnya pada 1933, yaitu Mencapai Indonesia Merdeka. “Merdeka buat saya,” seru Bung Karno pada Lahirnya Pancasila, “ ialah political independence.” Political independence berarti jaminan kebebasan dalam menentukan nasib sendiri. Namun, apa orientasi dari kebebasan politik itu? Dalam Mencapai Indonesia Merdeka, jawaban Sukarno adalah keberpihakan kepada kaum Marhaen, yaitu representasi dari rakyat miskin dan tertindas. Cita-cita politik inilah yang kemudian akan dibangun di atas dasar negara Indonesia, yaitu Pancasila. Artinya, tujuan ultima dari kebebasan politik adalah membebaskan rakyat dari cengkeraman penindasan, bukan membiarkan “dua tiga cukong mengangkang, berak di atas kepala mereka” (Sajak Sebatang Lisong, WS. Rendra).

Oleh karena itu, politik transaksional merupakan sebuah pengkhianatan terhadap orientasi dan identitas Pancasila. Kekristenan harus berdiri di garda terdepan untuk menentang ini. Alkitab dengan terang menuliskan, “Suap janganlah kauterima, sebab suap membuat buta mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar,” (Kel. 23:8). Prinsip menolak suap menjadi kriteria Musa dalam memilih calon-calon pemimpin. Tuhan mengatakan kepada Musa, “… kaucarilah dari seluruh bangsa itu orang-orang yang cakap dan takut akan Allah, orang-orang yang dapat dipercaya, dan yang benci kepada pengejaran suap,” (Kel. 18:21). Selain memerkosa kebenaran, suap juga akan menyandera keadilan. Yesaya menuliskan para pemimpin penerima suap “tidak membela hak anak-anak yatim, dan perkara janda-janda tidak sampai kepada mereka” (Yes. 1:23). Kian jelaslah bahwa suap bukan hanya pembelotan terhadap Pancasila dari cita-cita awalnya, tetapi juga kontra dengan ajaran kekristenan.

Politik transaksional adalah tanda kematian politik. Politik seharusnya menjadi tempat negosiasi dan kompromi berbasis pikiran dan harapan demi mewujudkan cita-cita bersama. Sebaliknya, politik uang menawarkan sejuta muslihat tanpa gagasan apa-apa. Politik adalah panggung bagi orang-orang cerdas berjiwa besar, bukan diperuntukkan bagi para penyamun. Ketika publik mempersilahkan para penyamun duduk di singgasana politik, degup jantung politik seketika berhenti karena pertukaran wacana telah digantikan oleh tukar-menukar nomor rekening. Jika Sukarno meringkas Pancasila menjadi Ekasila, hasil akhirnya adalah gotong royong. Namun, ekasila dari politik transaksional adalah rongrong-merongrong.

Hanya dengan pengamatan kasat mata, politik transaksional sudah menghegemoni pentas politik kita. Tawar-menawar harga untuk satu suara atau kebijakan sudah lazim, bahkan dianggap natural. Sialnya, organisasi berlabel Kristen pun tak mau ketinggalan. Alih-alih menahan diri agar berbeda dengan dunia (Rm. 12:2), praktik organisasi Kristen bukan hanya meniru, malah meradikalkan politik transaksional tanpa rasa malu. Rasa-rasanya, kata KRISTEN yang menempel pada nama lembaga nyaris tak punya makna. Akibatnya, tak mengherankan rasanya jika wajah kekristenan tampak pucat pasi di hadapan diskursus wacana di ruang publik karena kemiskinan ide. Pemikiran Kristen nyaris tanpa bunyi untuk merespons persoalan politik, sosial, dan kebudayaan di Indonesia dalam kurun waktu dua dekade terakhir. Mengapa kekristenan mengalami defisit ide? Alasannya karena organisasi Kristen telah melatih anggotanya untuk mengukur harga pasaran suara, bukan mengukur derajat kekuatan argumentasi berbasis data. Pendeknya, garam itu telah menjadi tawar. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang (Mat. 5:13).
Identitas politik Indonesia sejatinya terukir gagah dalam Pancasila. Semangat kebangsaan, Internasionalisme (perikemanusiaan), mufakat (demokrasi), kesejahteraan sosial, dan ketuhanan yang berkebudayaan semestinya menjadi fondasi dari praktik politik kita. Sukarno tidak pernah mengimajinasikan tarikan nafas politik untuk mencari keuntungan uang. Setali uang dengan imajinasi Bung Karno, kekristenan juga membenci suap. Alasannya karena suap akan memerkosa kebenaran dan keadilan. Suap menjadi langkah pertama untuk melahirkan ketidakadilan struktural sehingga nasib rakyat kecil dan jelata akan terabaikan. Oleh karena itulah, politik transaksional merupakan sebentuk pengkhianatan ganda. Pertama, ia membangkang terhadap cita-cita Pancasila. Kedua, ia menghujat nilai-nilai kekristenan.

Untuk memperingati Hari Kelahiran Pancasila, Partisipasi Kristen Indonesia (PARKINDO) merasa terbeban untuk menyerukan suaranya: HENTIKAN POLITIK TRANSAKSIONAL! Politik Indonesia harus kembali pada fitrahnya, yaitu Pancasila sebagai Weltanschauung atau dasar filosofisnya. Politik harus mempersatukan rakyat sebagai bangsa, bukan memandang kekuatan uangnya. Politik harus mengedepankan perikemanusiaan, bukan kekayaan. Politik harus bersifat demokratis dan memajukan diskursus akal sehat untuk mencari mufakat. Politik harus berorientasi pada keadilan sosial, bukan untuk keuntungan pemodal. Politik harus berlandaskan pada ketuhanan karena hanya kepada Dia manusia menggantungkan harapan.

Politik transaksional hanya akan membawa bangsa kita pada kegelapan. Sebagai Kristen, Yesus meletakkan predikat “terang” kepada setiap murid-Nya (Mat. 5:14a). Terang selalu superior atas kegelapan. Dengan kata lain, sifat terang adalah agresif menyerang kegelapan. Oleh karena itulah, kekristenan seharusnya menyerang politik transaksional tanpa kompromi dengan cara mempraktikkan politik sesuai kodratnya. Untungnya, para pendiri bangsa (khususnya Sukarno) sudah menyediakan pandu bagi kita, yaitu Pancasila yang selaras dengan nilai-nilai kekristenan. Politik transaksional harus dibongkar agar dikembalikan lagi pada filosofi dasarnya, yakni politik berorientasi Pancasila.

Selamat memperingati Hari Lahir Pancasila.
Jakarta, 1 Juni 2023

Tinggalkan Balasan

error: Content is protected !!